73

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Direktorat Kebudayaan Kemdikbud, mengadakan program ekskavasi bawah laut yang bertemakan International Capacity Building on Safeguarding The Underwater Cultural Heritage 2014 pada tanggal 22 September hingga 5 Oktober 2014 di Makassar dan Selayar. Program ini dilaksanakan untuk mengembangkan kapasitas pengetahuan dan keahlian dalam melestarikan cagar budaya bawah laut di ASEAN khususnya Indonesia.

Peserta yang terlibat berasal dari dalam negeri dan negara-negara tetangga seperti Kamboja, Laos, Filipina, dan Thailand yang kebanyakan dari mereka sudah pernah berpartisipasi pada program yang sama di tahun lalu. Para peserta juga merupakan orang-orang yang dapat menyelam atau pernah memiliki pengalaman menyelam.

Program ini juga mengundang tiga instruktur dari program tahun laluyang sama yang akan bekerja sama untuk mengajar, berbagi, dan membantu para peserta pada program kali ini. Mereka adaah Erb Perm Vatcharangkul dari Underwater Archeology Division Thailand, Ros Anderson dari Department of Maritime Archeology Western Australian Museum, dan Bobby Orillaneda dari National Museums of Philippines.

Pada kesempatan kali ini, kami diberi kesempatan untuk melakukan interview dengan salah satu instruktur, Bobby Orillaneda. Selain membantu instruktur dan para peserta, Bobby juga akan memberikan materi underwater simulation di Matoangin dan nantinya di Selayar.

Sebagai gambaran singkat, Bobi menyelesaikan S1 nya sebagai perawat pada tahun 1992 dari Velez College. Dia melanjutkan sekolahnya di Universitas Filipina pada tahun 1998 dan sukses meraih gelar Master pada jurusan arkeologi pada tahun 2000. Kemudian sejak tahun 2012, ia memulai program gelar PhD nya di Universitas Oxford pada jurusan arkeologi kelautan sampai sekarang. Dia memperluas keahliannya tidak hanya pada arkeologi secara umum, tetapi juga dalam hal penelitian, warisan budaya, instruktur menyelam, teknis penyelaman, sejarah, antropologi, penelitian kualitatif, dan penulisan akademik.

Berikut adalah wawancara singkat bersama Bobby Orillaneda:

R: Saya melihat bahwa ternyata gelar sarjana S1 Anda berasal dari fakultas keperawatan. Lalu bagaimana Anda akhirnya sekarang berada di fakultas arkeologi?

B : Sebenarnya arkeologi itu semacam kecelakaan. Setelah saya lulus S1, waktu itu usia 20 tahunan, saya melamar ke negara (PNS). Tapi pada saat itu ada pembatasan mempekerjakan perawat, jadi saat itu susah untuk menjadi perawat. Akhirnya saya mengerjakan banyak pekerjaan yang bukan perawat. Saya jadi pustakawan, agen ausransi, seniman layout, editor. Saya oindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Saya depresi. Saya tidak tahu apa yang saya inginkan. Sampai akhirnya saya terikat pada suatu proyek di Universitas Filipina, proyek AIDS. Ketika proyek ini berakhir, kantor yang membiayai proyek ini menyerap saya untuk bekerja di kantornya dari pada di proyek itu sendiri, Waktu itu, tugas saya melay out majalah. Waktu mereka tahu saya bisa menulis dan editor, saya jadi bekerja di situ dan mendaftar sebagai pekerja di bagian supply chain. Saat itu, pekerjaan ini adalah pekerjaan tetap di universitas. Itu bagian dari rencana saya untuk kembali sekolah lagi untuk gelar master saya. Itu cara praktis; untuk menjadi karyawan permanen di universitas dan mendapatkan kesempatan sekolah lagi dan tidak perlu bayar apa pun. Satu semester kamu hanya perlu membayar sekitar Rp. 30000 (tiga puluh ribu), sangat murah. Universitas Filipina adalah universitas terbaik di Filipina. Jadi itu hal yang bagus buat saya. Saya coba cari jurusan-jurusan yang lain. Pertama, saya rasanya ingin jurusan film, lalu kelas menulis, jurnalisme dan sejarah. Lalu suatu hari sepupu saya juga mau sekolah master lagi dan mengajak saya untuk ke Universitas Filipina untuk jurusan arkeologi. Lalu kami pergi untuk tes wawancaranya. Setelah dia diwawancara, pewawancaranya pikir saya juga salah satu pendaftar dan dia memanggil saya untuk interview. Ya saya pikir tidak ada salahnya mencoba kan. Akhirnya saya ikuti wawancaranya untuk jurusan arkeologi dan saya diterima. Seouou saya sendiri malah tidak diterima dan masuk sekolah lain untuk jurusan yang lain.

R : Jadi, apa spefikasi jabatan arkeologi Anda?

B : Peneliti Museum II di seksi arkeologi bawah air, divisi arkeologi, di Museum Nasional Filipina. Tapi untuk saat ini, saya tidak terikat secara resmi dengan museum karena saya sedang melakukan PhD di Universitas Oxford. Sehingga sekarang saya seperti mengambang, bisa atas nama universitas atau museum. Tapi untuk saat ini, saya rasa saya mewakili Museum Nasional Filipina, tetapi ini juga bagian dari tesis saya yang mana pembimbing tesis saya mengiinkan saya apa bila saya mewakili kandidat PhD Universitas Oxford. Kamu bisa gunakan dua duanya, tapi sekolah saya adalah Oxford Center for Maritime Archeology (Pusat Arkeologi Maritim Oxford)

R : Jadi setelah (kegiatan) ini, apakah Anda akan pegi kembali ke Oxford?

B : Setelah ini saya akan ke Vietnam untuk konferensi kemudian China untuk konferensi lainnya dan setelah itu Oxford. Saya cukup beruntung tahun ini, 9 negara dalam satu tahun.

R : Berapa lama anda akan berada di Oxford? Berapa lama Anda sudah berada di Oxford?

B : Saya sudah berada di Oxford selama 2 tahun sejak Oktober 2012 dan seharusnya, saya harus selesai pada April 2017, tetapi teman-teman bilang saya sempurna kalau selesai tepat waktu.

R : Ketika Anda melakukan studi PhD, apakah Anda juga ikut mengajar di sana?

B : Hal terbaik dari arkeologi PhD Oxford adalah saya tidak perlu mengikuti kelas, mengajar, atau apa pun kecuali menyelesaikan penelitian saya. Oleh karena itu saya mengikuti program ini untuk mendapatkan dan mengembangkan keterampilan saya. Tahun ini saya hanya menghabiskan 3 bulan di sana dan 9 bulan di 9 negara seperti yang saya sebutkan tadi. Jadi bagus sekali, saya dapat menghabiskan waktu bersama keluarga saya.

R : Jadi, apa tesis Anda?

B : Judulnya cukup panjang tetapi pada dasarnya tentang memahami pola perdagangan maritim di abad ke 15 di Asia Tenggara. Saya akan focus pada tiga kapal karam, satu di Thailand, satu di Malaysia, dan satu di Filipina. Saya tidak mendapatkan kapal karam di Indonesia karena tidak banyak kapal karam di Indonesia yang di ekskavasi.

R : Bagaimana kemajuan tesis Anda sekarang?

B : Di Oxford, kamu harus membuat tiga karya tulis. Setelah tahun pertama, kamu harus mengumpukan karya tulismu ke universitas tanpa menyertakan nama dan nomor siswa dan karya tulis itu akan dinilai oleh 2 profesor yang mana mugkin kamu kenal dia atau tidak kenal dia. Sehingga, penilaiannya akan lebih objektif. Kamu bisa merekomendasikan tetapi tetap universitas yang akan memutuskan. Untungnya, saya telah melalui itu dan setelah itu kamu akan berhadapan dengan karya tulis yang kedua yang disebut transfer karya tulis yang apabila telah lulus dari sini maka kamu memenuhi untuk mendapatkan D Phil (siswa Doctor Philosophy). Setelah kamu melewati fase ini kamu akan berhadapan dengan karya tulis terakhir yang ketiga yaitu konfirmasi karya tulis yang mana kalau kamu berhasil lulus maka kamu dapat dikonfirmasikan untuk menadi kandidat wisuda. Setelah karya tulis terakhir itu kamu akan diberikan waktu 6 bulan untuk menyelesaikannya tapi saya rasa saya tidak dapat menyelesaikannya dalam waktu 6 bulan. Agak langka. Nah saat ini saya dalam masa untuk menyelesaikan konfirmasi karya tulis.

R : Untuk program ini, apa persiapan Anda?

B : Sejak 2009, saya terlibat dalam Foundation Course oleh UNESCO. Itu merupakan program 6 minggu. Kami membicarakan tentang konsep teori tentang arkeologi dasar, metodologi, konservasi, dan pameran. Semua itu kami selesaikan dalam dua minggu. Dua minggu selanjutnya, kami menyelam dan memfokuskan untuk merekam situs yang ada. Karena kami mengikuti standar internasional oleh UNESCO, jadi kami tidak mengekskavasi. Jadi apa yang kita pelajari di sini pada dasarnya adalah apa yang kami lakukan di pelatihan UNESCO itu. Jadi waktu itu saya angkatan pertama; 2 minggu teori, 2 minggu menyelam, dan 2 minggu persiapan untuk pembuatan poster. Pembuatan poster artinya kita mempertunjukkan ke khalayak tentang proyek kita. Lalu sejak itu, saya cukup beruntung untuk terus dipekerjakan menjadi pelatih pada pelatihan selanjutnya karena mereka ingin mengembangkan para pelatih di kawasan Asia Tenggara. Saya mengajar subjek keramik kuno yang mana saya terspesialisasi dalam keramik Cina, Jepang, Thailand dan sedikit Myanmar. Kemudian, saya juga diundang untuk menjadi pelatih pada angkatan ketiga. Semua pengalaman dari sejak tahun 1999 sampai sekarang secara tidak langsung mengatributi saya untuk mengajar dan melatih para penyelam. Bagi saya ini seperti membayar kembali. Apa yang sudah saya pelajari haru saya transfer karena saat ini tidak banyak terdapat arkeolog-arkeolog kelautan di Asia Tenggara, oleh karena itu kami mencoba mengembangkannya. Dan saya cukup beruntung untuk mendapatkan kesempatan untuk dikembangkan. Maka sekarang saya memberikan kesempatan kepada para penyelam untuk paling tidak mengembangkan kompetensi mereka menjadi arkeolog kelautan dan semoga terus berlanjut, terutama di Indonesia yang masih memiliki jumlah arkeolog yang minim. Sementara, ini sangat penting di mana Indonesia adalah salah satu negara arkeologi kelautan di Asia Tenggara karena kekayaannya. Ada nilai kebudayaan arkeologi yang kuat di sini dan saya sangat menganjurkan agar pemerintah mendukung program seperti ini.

R : Sebagai pelatih di (program) tahun lalu, apa target pribadi Anda untuk program tahun ini?

B : Sebenarnya, mengembangkan lebih jauh lagi apa-apa yang para peserta sudah pelajari tahun lalu karena pada tahun lalu itu hanya pengorientasian saja. Kali ini, meskipun ada murid-murid baru tetapi murid-murid terdahulu dapat lebih mengembangkan ilmu yang sudah mereka punya dan melatihnya secara langsung di lapangan nantinya. Jadi pada intinya adalah memperdalam ilmu dan keahlian dalam arkeologi maritim.

R : Bagaimana Anda melihat perbedaan pada program tahun ini dan tahun lalu?

B : Tahun lalu lebih kepada orientasi tentang apa arkeologi maritime itu sendiri. Kali ini lebih jauh dari itu yaitu lebih kepada teknik merekam dan menyelamatkan objek.

R : Dalam hal kapasitas arkeologi maritim (kelautan), dibandingkan dengan Thailand dan Filipina, Indonesia masih tertinggal, padahal Indonesia sebenarnya adalah negara archipelago. Menurut Anda, apa hal paling menantang dalam membangun kapasitas keahlian ini?

B : Thailand memang sudah cukup berkembang. Tetapi, Filipina dan Indonesia kurang lebih sama. Filipina hanya memiliki satu unit dengan 6 orang di dalamnya untuk satu negara. Jadi saya rasa hal paling menantang adalah (keinginan) politik itu sendiri. Jika pemerintah bersedia untuk mendukung maka arkeologis maritime akan selalu melaksanakan tugas mereka. Hubungannya adalah pembiayaan. Kamu tidak dapat mengembangkan sumber daya manusia dan alamnya tanpa dana. Jadi jika pemerintah terus mendukung dan membiayai maka ilmu ini akan terus berkembang.

R : Latar belakang pendidikan saya bukan arkeologi, ketika saya mendengar tentang definisi ekskavasi, maka yang terlintas adalah sesuatu yang merusak, bagaimana sebenarnya cara kerja ekskavasi ini?

B : Ya, arkeologi memang merusak karena sumber arkeologi tidak dapat diperbarui. Sekali kamu mendapatkannya, kamu ga bisa balik. Jadi itulah kemungkinan dalam arkeologi untuk mendapatkan data dari situs karena kami tahu, kami ga akan pernah bisa kembali lagi. Bukan hanya datanya saja tetapi juga keseluruhan konteksnya. Tidak hanya materi kebudayaannya saja tetapi juga lingkungan alam di sekitarnya. Jadi, arkeologi bagi saya adalah bercerita. Kami menceritakan tentang apa yang terjadi di masa lampau, tetapi membutuhkan ilmu pasti sebagai buktinya. Jadi saya rasa, kami memiliki kewajiban untuk bekerja sebaik mungkin agar dapat mempersembahkan hasil seakurat mungkin. Kita tidak pernah tahu tentang apa yag terjadi di masa lampau tetapi kita bisa jika menggunakan keahlian kita, pelatihan, dan ilmu pasti untuk mendapatkan data yang akurat tersebut. Itulah hal yang saya suka akan arkeologi dan itulah mengapa saya cinta akan pameran arkeologi karena apa yang kita lakukan bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk khalayak umum. Tidak banyak akademis yang sadar akan hal ini. Yang mereka lakukan hanyalah membuat tulisan, menerbitkannya dalam jurnal, daan hanya itu. Saya pikir itu bukanlah arkeologi secara keseluruhan sebagaimana seharusnya. Ia harus diberitakan, disebarkan kepada khalayak umum sebanyak mungkin.

R : Ya, karena menurut saya, khususnya ekskavasi bawah air, ini agak ironis di mana awalnya kita berniat untuk melestarikan tapi diwujudkan dengan cara atau kegiatan yang merusak.

B : Ya saya setuju dengan Anda. Oleh karena itu, ia harus seimbang.

Untuk situs yang tidak terancam, kita tidak perlu melestarikannya (yang mana dalam hal ini harus diakukannya ekskavasi bawah air). Tetapi bila terancam oleh manusia atau bencana alam, maka ketika itulah penting untuk dilestarikan

R : Jadi, apa tujuan jangka panjang ekskavasi bawah air ini?

B : Saya pikir tujuan akhirnya adalah perputaran (keberlangsungan) riset itu sendiri. Setelah mendapatkan situs, merencanakan apa yang akan dilakukan di situs tersebut, melaksanakan rencana yang sudah dibuat, konservasi, pelestarian, pameran, dan kemudian publikasi. Saya rasa itu akhir tujuan yang nantinya menuntun pada informasi publik.

R : Ok, saya rasa cukup sampai sini perbincangan kita. Terima kasih banyak.

B : Ya, terima kasih banyak.

Related Link

Categories: _kontenlama