Sejarah Lembaga Purbakala

Perhatian terhadap  peninggalan purbakala telah berlangsung sejak masa kolonial yaitu pada abad ke-18. Pada awalnya, kegiatan tersebut  hanya bersifat kepentingan hobi atau kesenangan individu kemudian  meningkat menjadi suatu kegiatan oleh kelompok, dan pada akhirnya menjadi urgensi atau kepentingan dan keterlibatan lembaga karena peninggalan tersebut sangat menarik perhatian berbagai kalangan.

G.E. Rumphius (1628 M -1702 M), salah seorang naturalis Jerman adalah salah satu perintis pemerhati budaya, ia tidak hanya tertarik pada dunia flora dan fauna di Nusantara, tetapi juga pada artefak budaya. Pada awalnya, ia mengumpulkan berbagai benda tinggalan prasejarah. Rumphius sering menghadiahkan benda-benda masa prasejarah tersebut kepada para pejabat kolonial. Benda-benda prasejarah yang dikoleksinya tidak jarang ditulis ke dalam sebuah buku, misalnya D’Amboinsche Rariteitkamer (1705 M). Sayang, catatan-catatan Rumphius tentang tinggalan budaya kurang lengkap, sehingga menyulitkan pengidentifikasian lokasi asal-usul benda tersebut. Rumphius hanya salah seorang dari sekian banyak peminat hasil karya kebudayaan Nusantara.

Kegiatan kepurbakalaan berkembang dari semula bersifat pribadi atau individu kemudian menjadi kelompok. Hal itu ditandai dengan berdirinya  Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778 M. Sebagaimana disebutkan dalam statuten (pasal 1-3) lembaga ini didirikan dengan tujuan yaitu “memajukan pengetahuan-pengetahuan kebudayaan sejauh hal-hal ini berkepentingan bagi pengenalan kebudayaan di kepulauan Indonesia dan kepulauan sekitarnya”. Pada era itu sampai dengan awal abad ke-20 perhatian terhadap naskah-naskah kuno juga dilakukan dengan menyusun katalog-katalog antara lain oleh: A.B. Cohen Stuart (1872), L.W.C. van den Berg (1876-1877), dan ahli pribumi yaitu Dr. Poerbatjaraka (1933) (Nunus Supardi, 2004: 10-11).

Pada tahun 1788 M, para pejabat Belanda yang dipimpin Jan Greeve mengunjungi Keraton Yogyakarta, pesanggrahan-pesanggrahan, dan reruntuhan batu di gugusan Candi Prambanan (Riclefs, 2004). Menurut sumber-sumber kepustakaan pada abad 19 ada beberapa arca dan batuan candi berrelief yang dimanfaatkan sebagai koleksi pribadi orang-orang Belanda dan cendera mata bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi kerajaan-kerajaan di Jawa. Bahkan Raja Muangthai pernah mendapatkan cendera mata beberapa arca dan artefak lain untuk dibawa ke kerajaannya (Djoko Suryo, 1999: 28).

Pada saat pemerintah Inggris menguasai Indonesia (1811 M – 1816 M) ada perhatian terhadap pencatatan, penelitian, dan ekspos tentang kebudayaan pada umumnya dan kepurbakalaan khususnya. Pada saat itu, Thomas Stamford Raffles menulis berbagai pengalamannya di wilayah jajahan  ke dalam buku yang berisi tentang berbagai ragam budaya yaitu The History of Java yang ditebitkan pada tahun 1817 M. Dengan kembalinya kekuasaan Belanda menggantikan Inggris, maka dalam bidang kepurbakalaan dilakukan kunjungan dan penggambaran  situs-situs yang dipimpin oleh C.G.C. Reinward.

Secara umum, kegiatan kepurbakalaan berkembang dengan pesat terutama dalam bidang penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi, penggambaran, penggalian, maupun pembinaan bangunan kuno maka terbentuklah lembaga swasta pada tahun 1885 M yaitu Archaeologische Vereeniging yang dipimpin oleh Ir. J.W. Ijzerman. Secara keseluruhan berbagai kegiatan pencatatan dan penggambaran tersebut di atas ditulis dan diterbitkan dalam TBG, NBG, dan VBG.

Dapat dicatat bahwa  ahli foto yang sangat berjasa saat itu adalah Isodore van Kinsbergen dari Belanda (Nunus Supardi, 2004), serta K. Chepas seorang pribumi yang banyak mengabadikan karya-karya foto di beberapa kompleks percandian, artefak, pemandangan alam sekitar pantai selatan, pesanggrahan Tamansari, Kotagede, lingkungan Keraton Yogyakarta, dan Sultan serta keluarganya. Karya-karya foto itu mempunyai arti penting dan masih dapat dilacak serta dapat  menjadi bukti visual tentang keberadaan peninggalan kepurbakalaan di Yogyakarta khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.

Atas campur tangan pemerintah Hindia Belanda, maka berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Belanda (Gouvernement Besluit van 18 Mei 1901, No. 4) dibentuk sebuah komisi yaitu”Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundige onderzoek op Java en Madoera”, sebagai ketuanya yaitu Dr. J.L.A. Brandes. Pada periode ini, diterbitkan sebuah Rapporten van de Commisie in Nederlansch Onderzoek op Java en Madoera tahun 1909 (ROC). Pada saat ketuanya yang pertama Dr. J.L.A. Brandes meninggal dunia, komisi itu sempat terbengkalai.

Pada tahun 1910 M diangkat ketua baru, Dr. N.J. Krom. yang mempunyai pandangan sangat tajam tentang tinggalan kepurbakalaan di Hindia Belanda. Untuk mengembangkan kelembagaan secara luas, Krom belajar tata organisasi kepurbakalaan di India, Birma (sekarang Myanmar), dan “Hindia Belakang”, yang ketika itu sudah lebih maju daripada Hindia Belanda. Berdasarkan hasil studi banding tersebut maka diusulkan adanya sebuah lembaga kepurbakalaan yang representatif dan Pemerintah Hindia Belanda dapat menyetujui rencana tersebut dengan mengeluarkan sebuah Surat Keputusan No.62, 14 Juni 1913 M.

Keberadaan Lembaga Purbakala di Indonesia

Atas usaha N.J. Krom dihapuslah komisi kepurbakalaan untuk Jawa dan Madura yang bersifat sementara itu. Berdasarkan  surat keputusan pemerintah tanggal 14 Juni 1913 M nomor 62 berdirilah ”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie” (Jawatan Purbakala di Hindia Belanda). N.J. Krom kemudian diangkat sebagai kepala jawatan purbakala yang pertama. Tugasnya tidak hanya menyangkut Jawa dan Madura, tetapi seluruh Nusantara. Hal itu menunjukkan  secara kelembagaan campur tangan pemerintah Hindia Belanda secara langsung dimulai secara “eksploratif dan intensif”.

Pada tahun 1915 M mulai dibuat buku laporan kepurbakalaan atau  Rapporten van den Oudheidkundige Dienst  in Nederlandsch-Indie tahun 1915 (ROD) dan Oudheidkundige Verslag (OV) yang berisi tentang catatan-catatan detail hasil inventarisasi kepurbakalaan ke daerah-daerah Jawa Tengah pada umumnya dan wilayah Yogyakarta khususnya. Keberadaan ROD 1915 M merupakan kompilasi data-data kepurbakalaan hasil inventarisasi di Yogyakarta dan sekitarnya. Di dalam laporan itu, tercantum identitas benda antara lain:  nama benda, bangunan, maupun situs, asal, lokasi benda temuan, dan deskripsi fisik. Sampai sekarang data-data dari ROD masih digunakan untuk pembanding dan acuan, terutama untuk cek ulang apakah benda-benda tersebut dahulu pernah dilakukan inventarisasi dan dilaporkan dalam buku oleh Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst (OD)) ataukah  belum.

Pergantian pimpinan dilakukan sepeninggal Krom ke Negeri Belanda, yaitu  mulai pertengahan 1916 M Dr. F.D.K. Bosch diangkat menjadi Kepala OD atau Dinas Purbakala. Bosch banyak melakukan upaya rekonstruksi terhadap candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada masanya, Bosch sempat bertentangan dengan Krom soal rekonstruksi atau pemugaran reruntuhan sebuah bangunan candi di atas tanah ataukah hanya  di atas kertas. Ini dilakukan untuk menghindari ”pembunuhan kepurbakalaan” sebagaimana yang dilakukan Ijzerman terhadap gugusan Loro Jonggrang.

Pada perkembangannya, khususnya dalam pendokumentasian banyak foto-foto dari OD yang diterbitkan dalam laporan atau penerbitan antara lain  Gegeven Over Jogjakarta pada tahun 1925-1926 dan media lainnya. Pada era ini dikeluarkan peraturan yang mengikat tentang upaya menjaga kelestarian benda purbakala tersebut yaitu MO (Monumenten Ordonantie) No. 19 tahun 1931 M Staatblad  238  dan diperbaiki tahun 1934. Keberadaan MO menandai adanya kepastian hukum tentang upaya menjaga kelestarian tinggalan purbakala.

Secara periodik, Bosch menjalin komunikasi dengan Gubernur Yogyakarta J. Bijlevelt dan diteruskan kepada Patih Danurejo dalam upaya penyelamatan serta mendokumentasi Gerbang (plengkung) Baluwarti yang tersisa. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat tanggal 2 Maret 1935 M yang berisi tentang saran agar Plengkung Nirbaya dan Tarunasura  tidak dibongkar seperti halnya Plengkung Jagasura Ngasem dan Jagabaya sebelah barat Tamansari. Surat tersebut ditanggapi oleh Gubernur J. Bijlevelt dan diteruskan kepada Patih Danurejo VIII pada tanggal 13 Maret 1935 M. Di samping itu juga dilakukan identifikasi dan upaya perbaikan di beberapa bangunan lainnya, antara lain:  Candi Kalasan, Candi Sari, Keraton Ratu Boko, Candi Banyunibo, dan Candi Barong. Bersamaan itu juga dilakukan pekerjaan pengumpulan data dan upaya awal pemugaran Candi Siwa dan Wisnu di Kompleks Candi Prambanan.

Pada pertengahan 1936 F.D.K. Bosch digantikan oleh Dr. W.F. Stutterheim. Sebelumnya Stutterheim mendirikan sebuah sekolah A.M.S. gaya baru di Solo dengan jurusan Sastra Timur. Di sekolah tersebut, ia memasukkan Sejarah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia ke dalam kurikulum. Pada era ini (1938-1939) Stutterheim melanjutkan misi Bosch, yaitu pengawasan  pemugaran dan dokumentasi  bangunan-bangunan yang mempunyai koherensi dengan keraton, antara lain Gedong Panggung Krapyak, Masjid Sela Panembahan, Situs Pesanggrahan Rejawinangun atau Warung Bata,  Benteng Baluwarti, dan Plengkung Tarunasura (Oudheidkundige Verslag, 1938-1939).

Pada 1942 M pemerintah Hindia Belanda runtuh karena adanya invasi tentara Jepang. Periode pemerintah pendudukan Jepang tidak menghasilkan usaha-usaha pengelolaan kepurbakalaan yang berarti. Akibatnya kantor di Jakarta tidak aktif melakukan pengelolaan upaya pelindungan. Kevakuman kegiatan kantor pusat tersebut kemudian dapat diambilalih oleh kantor di Yogyakarta. Pada prinsipnya kegiatan era Pendudukan Militer Jepang lebih dititikberatkan kepada usaha-usaha propaganda. Pada tahun 1943, seksi kepurbakalaan turut membantu terbentuknya lembaga kebudayaan yaitu Keimin Bhunka Shidoso.  Pada masa Jepang inilah seorang pembesar Jepang di Magelang membongkar dengan ceroboh timbunan batu di tenggara Candi Borobudur.

Selepas Jepang, pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali Oudheidkundige Dienst. Sebagai pemimpin sementara yang ditunjuk adalah Ir. H.R. van Romondt. Kegiatan Dokumentasi peninggalan purbakala terus dilakukan, baik verbal, visual, audio-visual, dan piktorial, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan pemugaran Candi Siwa Prambanan. Pada 1947, Oudheidkundige Dienst dikepalai Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Pada 1951, beberapa Jawatan Purbakala melebur menjadi Dinas Purbakala. Setelah 40 tahun dipimpin oleh bangsa asing, pada 1953 Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional dipimpin oleh orang pribumi yaitu R. Soekmono. Kelak institusi ini berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).

Pada 1975, terjadi perubahan struktur organisasi. LPPN dibagi menjadi dua unit, yakni yang bersifat teknis administrasi operasional atau pelestarian dikelola oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sementara yang bersifat penelitian dipegang oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Kedua institusi ini pun pernah beberapa kali berganti nama, yakni Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (DP3SP) dan  kemudian berubah menjadi  Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Secara yuridis landasan hukum perlindungan peninggalan purbakala sejak Hindia Belanda yaitu MO pada tahun 1992 diperbarui yaitu dengan diundangkannya UURI No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Dua dekade kemudian peraturan perundaangan tersebut diganti kembali setelah diundangkannya UURI No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaganya pun juga mengalami perubahan nama yaitu dari Direktorat Kepurbakalaan menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (DPCBP) dan dilengkapi Unit Pelaksana Teknis di sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Tentunya berbagai perubahan dasar hukum dan kelembagaan tersebut juga mempunyai konsekuensi logis terhadap perubahan visi, misi, tugas fungsi, dan paradigma atau pendekatan cara pandang di dalam upaya pengelolaan dan pelestarian cagar budaya.

Sumber: BPCB Jogjakarta

Categories: Sejarah

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *