Di balik kepribadian Dokter Soetomo, ada peran keluarga yang kemudian membentuk sikap dan perilakunya. Pria bernama asli Soebroto ini belajar dari kakek dan neneknya bagaimana menjadi pribadi yang kukuh dan saleh. Bersamaan dengan itu, dari sang ayah pula ia belajar cara berprinsip dan menghormati orang lain.

Ayah Soetomo bernama R. Soewardji. Di kala itu, ia dikenal sebagai pribadi yang modern dan maju dibandingkan pemikiran-pemikiran masyarakat kala itu. Ini tercermin dari sikap Soewardji yang kerap dianggap menyalahi adat. Misalnya, tidak mengganti nama atau gelar lain seperti kebanyakan orang yang sudah menikah dan memiliki pangkat.

Selain itu, Soewardji juga memiliki paham-paham tersendiri akan ketidakadilan antara sikap dan perlakuan bangsa terhadap kaum perempuan. Menurutnya, banyak orang tua yang menyekolahkan anak perempuan karena khawatir anak perempuan mereka mengalami nasib yang tidak baik. Meskipun di zaman tersebut, hal-hal itu kerap dianggap bertentangan dengan apa yang dipahami masyarakat.

Ayah Soetomo merupakan seorang priayi. Namun, diam-diam ia keinginan Soetomo agar dirinya masuk ke sekolah dokter dan tak mengikuti jejak karier seperti dirinya. Ini justru bersebrangan dengan keinginan kakek dan nenek Soetomo yang menginginkan cucu mereka menjadi priayi. Tak heran keduanya pun sering bersitegang jika ditanya ingin menjadi apa generasinya kelak.

Terbesit di pikiran Dokter Soetomo terhadap ayahnya sendiri, mengapa ia masih mau menjadi priayi padahal tidak sedang terhadap jabatan tersebut. Untuk ukuran kemahiran sang ayah, bisa saja profesi lainnya dipilih. Sebab, Soewardi memang tak begitu menyukai profesi pangeh praja dan sering berkomentar buruk tentangnya.

Hingga akhirnya Soetomo memberanikan diri bertanya langsung ke sang ayah.

“Mengapa bapak pun suka menjalani pekerjaan itu?”  tanya Soetomo penasaran.

Mendengar jawaban tersebut, sang ayah lalu menjawab:

“Bila pekerjaan ini tidak saya jalani, apakah kau kira kamu sekalian dapat makan roti dengan mentega? Hanya saja permintaanku, janganlah kiranya anak-anakku kelak kemudian hari ada seorang pun menjadi priayi,” katanya.

Meskipun ia prihatin terhadap ayahnya yang menjadi “korban” atas pikirannya sendiri, mendengar jawabann itu membuat rasa hormat untuk ayahnya tak ingin hilang begitu saja. Ia pun telah menentukan sikap ingin menjadi dokter semenjak ayahnya memperlihatkan padanya seorang murid sekolah dokter yang berpakaian jas puth dan mengenakan peci. Menurut penglihatan Soetomo, jas dan peci putih sangatlah anggun dan menarik. Keputusan itu menjadi penyebab utama mengapa ia memilih menjadi seorang dokter.

Hanya saja saat tengah menempuh pendidikan, tiba-tiba pada 28 Juli 1907 Soetomo menerima telegram yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Kabar kematian sang ayah membuatnya Soetomo mengubah cara hidupnya. Ia merasa semangat belajar di sekolah dan hubungan dengan ayahnya pun membaik, yakni bersemi dan saling menghormati.

Larut dengan kesedihan memuat Dokter Soetomo tidak mau lagi berkumpul dengan teman-temannya. Soetomo merasa kesedihannya menjadi hal yang akan mengganggu kegembiraan teman-temannya. Itulah mengapa ia lebih memilih mengisolasi diri dari lingkungan sekitar.

Hanya saja di tengah kegalauannya, ia teringat akan ajaran pamannya Ardjodipoero. Saat malam tiba, Dokter Soetomo memilih menyepi dan memohon kepada Tuhan agar sebagai anak sulung ia mampu menepati kewajibannya. Keterpurukan dan keraguan dalam dirinya setelah ayahnya tiada pun perlahan sirna. Cara hidupnya menjadi lebih teratur dan cermat.  Ia berhasil menatar dirinya menjadi calon pemmpin yang baik. Kesadaran itulah yang membawanya ke jenjang sukses dan martabat seorang pemuka.

 

Sumber: Museum Kebangkitan Nasional. 9 Tokoh Berdiri Boedi Oetomo. Jakarta: 2014.


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *