Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat yang Revolusioner

“Baiklah” hanya itu kata yang diucapkan oleh Sukarno ketika terpilih menjadi presiden Republik Indonesia pertama. Dua puluh tahun kemudian, Sukarno menyebut dirinya sebagai “Penyambung Lidah Rakyat” dan “Pemimpin Besar Revolusi”.

Putra Sang Fajar

6 Juni 1901. Hari itu, Kamis pagi, Gunung Kelud meletus. Pada hari yang sama, di sebuah rumah di Lawang Seketeng Surabaya, lahirlah Kusno, putra dari pasangan R. Sukemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Masyarakat Jawa percaya bahwa letusan gunung merupakan pertanda kelahiran seorang pemimpin besar. Kusno yang sering sakit-sakitan akhirnya berganti nama menjadi Sukarno, karena dalam tradisi Jawa jika anak sering sakit-sakitan maka dianggap nama yang disandangnya tidak cocok.

(Sumber: KITLV)

Sukarno mengenyam pendidikan dasar di EIS (Eerste Inlandsche School) atau disebut juga Sekolah Angka Satu. Pada Juni 1911 Sukarno melanjutkan pendidikannya ke ELS (Europeesche Lagere School) dan berlanjut ke HBS (Hogere Burgerschool) atas bantuan rekan ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto. Pendidikan tinggi ditempuh Sukarno di THS (Technische Hogeschool) Bandung yang merupakan cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada 25 Mei 1926 Sukarno memperoleh gelar insinyur jurusan teknik sipil spesialisasi jalan raya dan pengairan.

Perkenalan Awal dengan Nasionalisme

Sukarno merasakan suasana diskriminasi kolonial ketika bersekolah di HBS Surabaya, ketika terdapat ketimpangan dalam hubungan sosial antara guru dan murid, juga dalam pergaulan dengan sesama murid. Dalam tata cara berpakaian misalnya, murid pribumi diharuskan memakai setelan pakaian (beskap) Jawa dan sarung batik, tanpa alas kaki, sedangkan murid Belanda menggunakan setelan jas dan pantalon serta sepatu tertutup. Kesadaran akan ketimpangan yang diskriminatif ini memicu Sukarno untuk turut serta dalam pergerakan nasional. Melalui Tjokroaminoto, Sukarno berinteraksi dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI) dan mengadaptasi kemampuan berpidatonya. Penyampaian gagasan Sukarno tertuang dengan cerdas, berani, dan inspiratif. Di usianya yang baru 20 tahun, Sukarno tampil menyampaikan pidatonya yang gemilang pada perayaan Hari Buruh bulan Mei 1921, disamping gurunya, Tjokroaminoto.

Sukarno dan Partai Nasional Indonesia

Sarekat Islam (SI) cabang Semarang mulai dilanda konflik internal ideologi, ketika ajaran Karl Marx mulai masuk ke dalam SI. Di bawah pimpinan Tjokroaminoto,  beliau berinisiatif menulis permasalahan hubungan ajaran Islam dengan sosialisme.Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis menampilkan diri sebagai ideolog Islam. Di kalangan pemuda sendiri terjadi variasi ideologi, seperti Budi Utomo dengan ide “nasionalisme Jawa” dan Indische Partij dengan gagasan “nasionalisme Hindia”. Melihat gejala tersebut, pada 1926 Sukarno menerbitkan esai politiknya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” dalam Soeloeh Indonesia Moeda. Dalam esainya, Sukarno mengulas tentang ketiga ideologi tersebut dan menunjukkan bahwa ketiganya dapat bergerak dalam kesatuan langkah. Uraiannya yang cerdas itu seakan menggiring teman-temannya dalam kelompok diskusi Algemeene Studie Club, dan pada 4 Juli 1927 menjadi Perserikatan (Partai) Nasional Indonesia atau PNI. Perjuangan dan pergerakan PNI dilancarkan melalui agitasi massa, yang kemudian memicu Kongres Pemuda hingga lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pengaruh Sukarno semakin luas hingga terbentuk Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Federasi tersebut menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda sehingga PNI dan PPPKI diawasi secara ketat.

Indonesia Menggugat

Intensitas kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda yang semakin tinggi pada pengaruh Sukarno, menyebabkan terjadinya penangkapan beberapa orang aktivis PNI pada 29 Desember 1929. Sukarno pun turut menjadi sasaran dalam penangkapan, juga beberapa tokoh PNI lainnya seperti Maskoen, Gatot Mangkoepradja, dan Soepriadinata. Mereka ditangkap dan ditahan di penjara Banceuy, Bandung. Sukarno ditahan di sel berukuran 1,5 meter x 2,5 meter, di ruang tahanan Blok F Nomor 5. Aktivitas Sukarno selama di penjara yaitu membaca dan menulis artikel. Buku bacaannya diperoleh dari istrinya, Inggit Garnasih, yang menyelundupkan buku di balik stagen. Pada waktu-waktu inilah Sukarno akrab dengan pemikiran Karl Marx, Sun Yat Sen, dan Snouck Hurgronje, yang banyak memberi inspirasi padanya.

Proses peradilan yang dihadapi Sukarno merupakan kecurigaan politik yang tertuang dalam “pasal karet” yaitu pasal 161, 169, 171, dan 153. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tertuang bahwa “Seseorang yang terbukti mengeluarkan perasaan kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan, atau seseorang yang berhubungan langsung mauun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan yang menghasut untuk mengadakan pengacauan atau pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi-tingginya tujuh tahun penjara”. Sukarno kemudian berkonsultasi dengan pengacaranya, Mr. Sastromoeljono, dan menulis pleidoinya dalam pidato pembelaan berjudul “Indonesia Menggugat” berisi uraian penderitaan rakyat Indonesia karena pengisapan kolonialisme Belanda.

Dalam “Indonesia Menggugat” Soekarno memperkenalkan Marhaen sebagai identifikasi sosiologis wong cilik. Marhaen adalah petani yang memiliki sawah dan alat bajak tetapi hidup miskin dan menderita. Kemiskinan dan penderitaan ini merupakan imbas dari kapitalisme dan kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Trilogi sejarah yang disebutkan oleh Sukarno: masa lalu yang gilang-gemilang, masa kini yang gelap gulita, dan masa depan yang penuh harapan menjadi cita untuk kemerdekaan bangsa yang terbebas dari segala bentuk penjajahan. Pada 31 Desember 1931 Soekarno dibebaskan setelah dua tahun menjalani hukuman pidana.

Pengasingan di Ende dan Bengkulu

Pada waktu Sukarno dipenjara, PNI terpecah menjadi dua, yaitu PNI baru yang didirikan Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir, dan Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan oleh Mr. Sartono. Sukarno berusaha menyatukan PNI baru dan Partindo namun gagal, akhirnya Ia memutuskan untuk bergabung dengan Partindo. Perdebatan antara PNI dan Partindo tidak berlangsung lama, karena pada pertengahan tahun 1933 Sukarno diasingkan ke sebuah kota kecil di Pulau Flores, Ende. Selama diasingkan di Ende, Sukarno menjalin persahabatan dengan Pastor Huijtink yang menjadi kawan diskusi yang memungkinkan Soekarno mengakses buku-buku di perpustakaan gereja. Sukarno pun menyampaikan ide dan gagasannya tentang kemerdekaan dan kepahlawanan melalui pertunjukan tonil/teater yang dipentaskannya.

Setelah sembuh dari penyakit malaria yang berat, pada awal tahun 1938 Sukarno dipindahkan ke Bengkulu. Disini Sukarno aktif dalam pergerakan Muhamadiyah dan mengajar di sekolah organisasi Islam Muhamadiyah. Aktivitas Sukarno ini mempertemukannya dengan Fatimah (kemudian dikenal dengan Fatmawati), putri seorang pemimpin Muhamadiyah setempat, teman Ratna Djuami, anak angkat Sukarno. Sukarno mendirikan perkumpulan sandiwara Monte Carlo dan meneruskan perjuangan penyebaran gagasan nasionalismenya melalui pentas-pentas yang rutin diselenggarakan.

 

(Sumber: IPPHOS)

 

Mempersiapkan Proklamasi

(Sumber: ANTARA/IPPHOS)

Suatu waktu pada 15 Agustus 1945, tepatnya pukul 10 pagi, Sukarno, Sayuti Melik dan Trimurti (istri Sayuti Melik) tengah merencanakan strategi proklamasi kemerdekaan. Chairul Saleh bersama Sukarni dan Wikana yang merupakan golongan pemuda revolusioner mendesak Sukarno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Sukarno dengan tegas menolaknya, karena tanggal kemerdekaan Indonesia sudah Ia tentukan pada tanggal 17. Ia berkata,

Aku percaya mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal, mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas adalah angka suci. Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa. Hari ini Jumat, Jumat Legi, Jumat yang manis, Jumat yang suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Al Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rekaat dalam sehari. Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramatnya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi mengikuti setelah itu.”

 

(Sumber: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

 

Keesokan harinya Sukarno dan Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok oleh para pemuda. Setelah pergulatan panjang selama puluhan jam penyusunan, naskah proklamasi akhirnya selesai dan dibacakan pada 17 Agustus 1945.

Sukarno dan Tatanan Politik Global

Konferensi Asia Afrika pada 1955 adalah awal peran serta Sukarno dalam pergolakan kemerdekaan Asia-Afrika yang tengah berlangsung.

“… Marilah kita menciptakan suatu dunia baru tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Marilah kita membangun suatu dunia baru tanpa imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Maju, pantang mundur! Sekali maju, tak akan mundur!”

(Sumber: Tong Djoe)

Presiden Sukarno pada masa itu merupakan salah satu tokoh pemimpin yang disegani dalam Gerakan Non Blok. Politik luar negeri bebas aktif adalah salah satu landasan untuk menghadapi persaingan Blok Barat. Nasionalisme di Dunia Ketiga menjadi jawaban terhadap penindasan nasionalisme yang bersumber di Eropa. “Kemerdekaan menjembatani perjuangan bangsa-bangsa bagi persamaan derajat”, demikian yang diutarakan Sukarno tahun 1959.

Sukarno dan Visi Kebudayaan Indonesia

Sukarno dikenal dengan kemampuan berpidato, yang sanggup menghipnotis ribuan massa pendengarnya. Ia menciptakan ‘psikologi revolusi’ dalam sanubari bangsa melalui kemampuan berpidatonya. Pada masa pembuangan, Sukarno aktif sebagai penulis naskah sekaligus sutradara dalam pertunjukan teater yang digagasnya, serta piawai pula dalam memilih dan melatih pemain, mendekorasi panggung, juga menjadi manajer pertunjukan. Sukarno dikenal pula sebagai kolektor lukisan. Sukarno turut menjadi pemrakarsa kemajuan kesenian tradisional, arsitektur bangunan yang didirikan pada masa pemerintahannya seperti Masjid Istiqlal, Gedung Conefo (beralih fungsi menjadi gedung DPR/MPR), gedung tambahan Bank Indonesia, dan Monumen Nasional (Monas). Bagi Sukarno, penciptaan karya seni dan bentuk kreasi kultural merupakan bagian yang esensial dalam proses pembangunan bangsa.

(Sumber: ANTARA/IPPHOS)

 

Wafatnya Presiden Pertama RI

Pada 21 Juni 1970, Bapak Proklamator Kemerdekaan, Sukarno, berpulang pada Yang Maha Kuasa. Kesedihan dan kehilangan yang mendalam menyelimuti kehidupan bangsa. Sukarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, bukan di tengah-tengah keindahan alam Priangan yang diinginkannya.

(Sumber: ANTARA/IPPHOS)

Apabila aku telah mencapai sesuatu selama di atas dunia, ini adalah karena rakyatku. Tanpa rakyat aku tak berarti apa-apa. Kalau aku mati, kuburkanlah Bapakmu menurut agama Islam dan di atas batu kecil yang biasa engkau tulislah kata-kata sederhana:

DISINI BERISTIRAHATLAH BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT.

 

Sumber:

Tim Penulis. 2014. Presiden Republik Indonesia 1945—2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *