Emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria yang dimaksud seperti persamaan di bidang pendidikan, pekerjaan dan gaji, dan untuk ikut serta dalam pemilu baik memilih maupun dipilih. Dalam bidang pekerjaan di Indonesia, kenyataannya masih ada kesenjangan yang tinggi antara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) antara kaum pria dan kaum wanita. TPAK di Indonesia tahun 2017 menurut Priyanto sebagai berikut:

“Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada kesenjangan yang tinggi antara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) berdasarkan jenis kelamin pada Februari 2017, yakni masih didominasi oleh laki-laki. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, TPAK laki-laki pada Februari lalu sebesar 83,05 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 83,46 persen. Sedangkan TPAK perempuan hanya 55,04 persen, namun meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52,71 persen. Deputi Bidang Statistik Sosial M Sairi Hasbullah menambahkan, peningkatan partisipasi kerja perempuan pada Februari 2017 menandakan bertambahnya perempuan yang terlibat dalam dunia kerja. Meski pada kenyataannya sebenarnya dari data yang terserap berasal dari pekerja keluarga di sektor pertanian”.

Sementara itu kesejahteraan masyarakat juga diukur dari gaji, akan tetapi ada kesenjangan gaji antara kaum pria dengan kaum wanita. Serta hak-hak istimewa wanita yang diatur oleh UU yang nyatanya tidak dipraktekkan secara maksimal. Menurut Aulia Adam pada tahun 2017:

“Di Indonesia, kesenjangan gaji yang di terima perempuan dan laki-laki masih tinggi. Jika dirata-ratakan, perempuan cuma mendapat 68 persen dari gaji yang didapat laki-laki. Lalu di tambah lagi di Indonesia, aturan cuti bagi perempuan ini diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yaitu “Ada ketentuan hak beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan (masing-masing 1,5 bulan sehingga total 3 bulan), hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, kesempatan untuk menyusui, dan layanan antar-jemput bagi karyawan perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 hingga 05.00.”  Nyatanya sangat minim dipraktekkan. Angka kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di Indonesia mencapai 0,628. Saat ini Indonesia berada di peringkat ke-88. Peringkat Indonesia saat ini turun dari peringkat ke-68 pada 2006 silam dengan capaian angka kesenjangan 0,654. Angka-angka kesenjangan ini diperoleh dari tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, partisipasi politik, dan kesehatan warga yang ada di 144 negara yang disurvei. Melalui survei ini, perempuan masih terlihat sebagai warga kelas dua, yang hak dan kebutuhannya masih belum bisa sepenuhnya diakomodasi Indonesia sebagai negara”.

Dari keadaan di atas artinya emansipasi antara kaum pria dengan kaum wanita di Indonesia masih kurang dalam prakteknya di masyarakat. Kata emansipasi sendiri pada zaman kolonial, jarang sekali didengar oleh telinga para wanita Indonesia. Saat itu, kebiasaan adat yang berlaku sangat ketat, perempuan hanya diperbolehkan untuk bersekolah hingga tamat Sekolah Desa atau Sekolah Rendah Belanda, sedangkan laki-laki diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Menurut adat, seusai tamat Sekolah Desa atau Sekolah Rendah Belanda, perempuan hanyalah harus menolong mengurus rumah tangga, mereka harus belajar memasak, menjahit mencuci, menyeterika pakaian, dan harus menekuni apa saja yang berhubungan dengan rumah tangga, hingga calon suami datang melamar. Perbedaan hak kaum wanita dengan kaum pria terutama di bidang pendidikan itulah yang membuat seorang wanita dari Sulawesi Utara bernama Maria Walanda Maramis mencoba ‘mendobrak’ adat tersebut. Dan dampaknya cukup besar sampai saat ini, terbukti dari adanya pejabat wanita di pemerintahan Indonesia saat ini,  meski masih ada kesenjangan diantara kaum pria dengan kaum wanita.

Selayang Pandang tentang Maria Walanda Maramis

Maria Josephine Catherine Maramis lahir di Kema, sebuah desa kecil yang berada di Minahasa  Utara, Sulawesi Utara pada 1 Desember 1872. Orangtuanya adalah Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu. Pasangan Maramis dan Sarah hidup sederhana. Pekerjaan Pak Maramis adalah seorang pedagang yang memanfaatkan hari pasar di pesisir pantai ketika pelabuhan Kema sedang ramai. Lahir dari keluarga kurang mampu, ditambah mendapat diskriminasi karena dirinya seorang perempuan, Maria Walanda Maramis justru berjuang untuk membebaskan kaumnya dari keterbelakangan pendidikan.

Pada saat Maria berusia 6 tahun, orang tua Maria meninggal secara berturut-turut di tahun yang sama akibat penyakit kolera. Maria menjadi yatim piatu bersama kedua orang saudaranya. Bersama kedua saudaranya, dia diasuh dan dibesarkan pamannya Essau Rotinsulu, serta tinggal di Airmadidi, Minahasa Utara. Maria beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi, Minahasa Utara. Sekolah itu mengajar ilmu dasar, seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Sekolah Melayu adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maria dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga. Maria hanya menamatkan pendidikan tiga tahun di Sekolah Melayu, ia tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.

Paman Maria adalah seorang kepala distrik dan dihormati. Rumah pamannya sering didatangi banyak kalangan mulai dari para petani, nelayan, sampai mereka yang berpendidikan, yaitu para guru dan penulong (guru agama). Tidak hanya itu, banyak kalangan pejabat juga sering bertamu di rumah pamannya, seperti misalnya teman-teman sesama kepala distrik atau utusan-utusan dari Residen Manado yang berkedudukan di Manado.

Maria menghabiskan hampir seluruh masa remajanya tinggal di rumah pamannya. Mau tak mau, tata cara menyambut tamu, menyapa tamu, mempersilahkan tamu masuk, menata rumah tangga dan seterusnya, lama kelamaan mulai dilakoni Maria dan kakak perempuannya. Istri pamannya yang mengajari Maria dan kakak perempuannya. Begitu pun dengan cara berpenampilan, mulai dari kepala sampai kaki, dan estetika seluruh tubuh harus diperhatikan. Maria tidak hanya mampu memasak makanan-makanan sehari-hari, makanan khas Minahasa, tetapi juga tahu memasak makanan Eropa. Dari sini lah dia mulai belajar keterampilan yang kelak di kemudian hari dipakai untuk mendidik perempuan-perempuan Minahasa yang diajarkan melalui Percintaan Ibu Kepada Temurunnya (PIKAT).

Maria mengakhiri masa mudanya saat menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa yang baru menyelesaikan studinya di Pendidikan Guru di Ambon. Pada 22 Oktober 1891, atas restu kedua orang tua Jozef dan paman Maria, Rotinsulu. Maria Josephine Catherina Maramis kemudian menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda di rumah gereja di Maumbi. Setelah pernikahannya dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, ia pun dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis. Di Maumbi, Maria berkenalan dengan seorang pendeta asal Belanda, pendeta Ten Hoeve dan istrinya. Maria kemudian banyak belajar lagi tentang keterampilan dari Nyonya Hoeve. Maria dan pendeta Ten Hoove juga sering berdiskusi tentang keadaan kaum wanita di Sulawesi Utara saat itu. Maria pun sadar akan keadaan wanita Minahasa tertinggal dibandingkan wanita Belanda di bidang pendidikan, ada perempuan Minahasa yang sebenarnya cukup pintar untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi, namun terbatas oleh adat dan biaya pendidikan.

Setelah pindah ke Manado, Maria mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama “Tjahaja Siang”. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang pertama memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya. Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga.

Dari pernikahan Maria dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, mereka memperoleh tiga orang anak perempuan, yakni Wilhelmina Frederika, Anna Paulina, dan Albertine. Maria mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya. la ingin agar mereka kelak memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi. la berpendapat bahwa seorang gadis sebelum memasuki masa berumah tangga, harus memiliki dasar pendidikan yang luas. Sesudah menyelesaikan Sekolah Dasar, mereka harus melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Hal itu akan mempengaruhi sekaligus meningkatkan pendidikan anak-anak mereka kelak.

Pada awal abad ke-20, jumlah sekolah di Minahasa masih sangat terbatas. Bila anak-anak ingin melanjutkan pelajaran, mereka harus pergi ke Pulau Jawa. Tetapi tidak banyak orang-orang daerah yang mampu membayar biaya sekolah di tempat yang jauh itu. Hal itu menjadi pikiran Maria, bagaimana caranya mengatasi kesulitan agar anak-anak gadis Minahasa mendapat pendidikan yang layak. Pikiran Maria pun tertumpah kepada ketiga orang anaknya yang semuanya wanita. la ingin agar mereka mendapat pendidikan tinggi. Mula-mula anak-anaknya dimasukkan ke Christelijke Meisjesschool (Sekolah Kristen untuk anak-anak perempuan) di Tomohon. Hanya satu tahun mereka bersekolah di sini, kemudian Anna dan Albertine diusahakan masuk Lagere School (SD Belanda) di Manado. Waktu itu tidak mudah bagi orang biasa seperti suami Maria, untuk memasukkan anaknya ke Lagere School, namun karena berulang kali mengirimkan permohonan kepada pemerintah agar anak-anaknya diterima di sekolah tersebut, maka akhirnya permintaan itu dikabulkan, setelah kedua orang anaknya diuji terlebih dahulu dalam kemahiran berbahasa Belanda.

Setelah anak-anak dari Maria berhasil menyelesaikan pendidikan di Lagere School dan menempuh Kleinambtenaar Examen (ujian untuk calon pegawai rendah), Maria berniat mengirimkan anak-anaknya ke Pulau Jawa, tetapi suaminya kurang setuju. Maria berusaha menyakinkan suaminya agar memberi kesempatan kepada anak-anaknya tersebut. Ia sendiri sudah mengalami bagaimana rasanya tidak mendapat kesempatan belajar di sekolah yang lebih tinggi dan ia ingin agar hal itu tidak terulang pada anak-anaknya. Dengan bantuan dan dorongan Kepala Sekolah, akhirnya suaminya menyetujui permintaan Maria. Anak-anaknya di kirim ke Jawa dengan syarat, dalam waktu tiga tahun harus kembali ke Manado dengan membawa ijazah Europese Lager Onderwijs (Pendidikan Guru Rendah Belanda). Kemudian terbukti kedua anak itu berhasil memenuhi syarat yang diberikan ayah mereka. Dengan keberhasilan kedua anaknya, Maria pun semakin merasa yakin untuk mewujudkan cita-citanya, lalu mulai mengumpulkan beberapa or­ang temannya untuk mendirikan sebuah organisasi yang akan berusaha memajukan pendidikan kaum wanita. Maksudnya terlaksana, berdirilah sebuah organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) pada 8 Juli 1917.

Selain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT), Maramis juga berjuang demi emansipasi wanita di Minahasa dalam pemilihan umum. Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tetapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tetapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya yang gigih berhasil pada tahun 1921 di mana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

Pendidikan

Pada tanggal 8 Juli 1917, diselenggarakan rapat terbuka yang dihadiri oleh masyarakat Manado dan direstui oleh Pemerintah Belanda. Sebagai langkah awal, Maria mengusulkan, dimulai dahulu dengan mendata, mengumpulkan sejumlah gadis remaja yang mau mendapatkan pelajaran kerumahtanggaan. Dalam rapat itulah PIKAT diperkenalkan kepada masyarakat luas. Dengan panjang lebar Maria menguraikan tujuan PIKAT. Banyak anak gadis yang telah berkesempatan ke sekolah serta banyak pula yang telah memiliki keahlian seperti menjadi juru rawat dan bidan. Tetapi, kebanyakan anak gadis akan menjadi ibu rumah tangga biasa. Untuk mereka itu perlu dipikirkan sesuatu.

Bagi masyarakat Minahasa, Maria mengatakan, bahwa yang sangat diperlukan ialah memperkokoh kehidupan keluarga. Dalam pengertian ini Maria setuju dengan Kartini, bahwa ”Perempuan itu adalah ibu dan guru yang pertama bagi anak-anaknya.” Pada sang ibu lah bergantung masa depan anak-anaknya. Apabila sang ibu mempersiapkan mereka dengan baik, maka pengalaman mereka di sekolah akan sangat bermanfaat. Anak adalah bagaikan tanah atau lahan. Apabila sang ibu mengerjakan lahannya itu dengan baik, maka bibit yang ditabur sang guru di sekolah akan tumbuh subur. Peranan wanita itu, adalah sebagai istri dari suaminya dan sebagai ibu dari anak-anaknya. Dengan berdirinya organisasi PIKAT, Maria mulai bekerja untuk mewujudkan cita-citanya.

Maria mengirimkan surat kepada wanita-wanita terkemuka di beberapa tempat di Minahasa. Dalam surat itu, dianjurkannya agar ibu-ibu mendirikan cabang PIKAT di beberapa tempat seperti di Sangirtalaud, Gorontalo, Poso dan lain-lain, bahkan kemudian cabang PIKAT berdiri pula di Ujung Pandang dan di luar Sulawesi seperti di Jakarta, Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi dan Magelang, lalu di Kalimantan, di Balikpapan, Sangu-sangu, dan Kotaraja. Cabang PIKAT didirikan di mana saja yang terdapat sekurang-kurangnya sepuluh keluarga Minahasa. Maria yang serba sederhana pengetahuannya mampu pula menggunakan surat kabar, untuk mempropaganda cita-cita PIKAT. Tulisan Maria di dalam surat-surat kabar menarik perhatian orang banyak. Orang-orang Belanda golongan etis (hendak memajukan Indonesia) pun tertarik. Orang-orang Belanda itu memberi bantuan berupa uang maupun tenaga. Or­ang-orang Minahasa di lain-lain tempat mengirimkan bantuan uang dan bersedia menjadi donatur PIKAT.

Pendidikan di Mata Maria Walanda Maramis

Pada rapat pengurus dan anggota PIKAT, Maria mengusulkan adanya suatu rumah tinggal bagi para gadis yang akan belajar di sekolah PIKAT. Namun masalahnya mereka tak punya gedung dan peralatan belajar keterampilan. PIKAT pun berhasil mendapatkan sebuah gedung, gedung itu milik seorang warga Belanda, Tuan Bollegraf merelakan sebuah rumah besarnya digunakan sebagai rumah tinggal (asrama) atau wisma bagi gadis-gadis di sekolah PIKAT. Rumah tinggal para gadis ini kemudian dikenal dengan Wisma Maria, Huize of Maria, atau Asrama PIKAT Maria. Rumah itu tidak disewakan tetapi dipinjamkan oleh Tuan Bollegraf. Sekolah PIKAT akhirnya memiliki rumah tinggal bagi gadis-gadis yang mau belajar.

Tercatat pada waktu itu, empat orang gadis sebagai siswa pendaftar pertama. Adapun syarat untuk menjadi murid, mereka harus sudah lulus sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan paling tidak telah berumur 16 tahun. Mula-mula hanya dikhususkan gadis-gadis Minahasa, tetapi kemudian setelah mendapat bantuan dari pemerintah, sekolah ini mulai menerima murid secara terbuka luas untuk anak-anak Indonesia. Kurikulum sekolah pun mulai disusun dengan empat orang gadis sebagai murid pertama, sambil menunggu pendaftaran murid-murid lainnya. Mereka diberi pelajaran kerumahtanggaan, mereka harus mencuci pakaian mereka sendiri, menjahit, menyulam, membersihkan tempat tidur, membersihkan rumah dan pekarangan, serta memasak. Di sana juga diajarkan bagaimana mengurus diri mereka sendiri, hidup bersih, berpakaian rapi dan sopan, serta banyak hal yang berkaitan dengan masa depan mereka sebelum berumah tangga. Tujuannya adalah, bagaimana melalui sekolah ini dapat mendidik perempuan-perempuan Minahasa, selain memiliki pengetahuan tetapi juga keterampilan.

Dalam memberikan pelajaran, Maria dibantu oleh anak-anaknya, antara lain pelajaran bahasa Belanda oleh anak Maria sendiri, yakni Anna Paulina. Guru-guru yang memberi pelajaran tidak digaji, kecuali Kepala Sekolah dan ibu pemimpin asrama. Mereka bekerja dengan sukarela demi kemajuan gadis-gadis Minahasa dan untuk membuktikan simpati mereka kepada cita-cita Maria. Uang sekolah yang diterima hanya berjumlah lima belas gulden sebulan, termasuk uang pondokan. Sudah tentu jumlah itu tidak mencukupi, namun Maria tetap berusaha agar semua gadis Minahasa bisa memperoleh pendidikan di sekolahnya. Untuk menambah pemasukan uang, maka Maria menjual hasil masakan, kue-kue, dan hasil pekerjaan tangan murid-murid sekolah PIKAT kepada para anggota dan para donatur, dengan cara demikian kesulitan biaya dapat diatasi. Inisiatif Maria mendapat perhatian penduduk Minahasa, bahkan Residen Kroon dan istrinya pun tertarik kepada usaha itu.

Para siswa yang sampai tamat mengikuti kursus-kursus yang dibuka untuk umum diberikan sertifikat keahlian yang dapat digunakan untuk melamar kerja. Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1919, PIKAT dan sekolahnya yang terletak di di Jalan Ahmad Yani Manado mendapat pengakuan hukum dari pemerintah dengan Nomor 66 tanggal 16 Juni 1919. Dua tahun lamanya berjuang dan barulah terasa hasil yang sangat memuaskan. Pimpinan PIKAT, pengurus sekolah, orang tua murid, dan masyarakat umum sudah dapat melihat dan merasakan hasil-hasilnya dari keterampilan gadis-gadis yang sudah menyelesaikan pelajaran di sekolah PIKAT. Sekolah PIKAT kemudian diresmikan pada tahun 1919 dan disebut dengan nama Huishoudschool.

Maria tetap bekerja untuk mewujudkan cita-citanya. Sasaran selanjutnya ialah membeli sebidang tanah untuk mendirikan sebuah gedung sekolah, tetapi uang yang diperlukan tidak mencukupi walaupun cabang-cabang PIKAT sudah mengirimkan sumbangan. Maria tidak kehabisan akal. la menyusun sebuah daftar orang-orang yang diminta kesediaanya memberi pinjaman uang dengan bunga yang tidak terlalu tinggi. Usaha itu berhasil dan akhirnya dapatlah mendirikan sebuah gedung yang menyerupai asrama dan sekaligus dapat dipakai sebagai sekolah. Bentuknya masih sederhana, tetapi Maria merasa gembira sebab bagaimana pun gedung itu sudah milik PIKAT sendiri. Kegembiraannya memuncak ketika dalam tahun 1920 Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum beserta istrinya berkunjung ke sekolah PIKAT. Istri Gubernur Jenderal itu sangat terkesan dengan apa yang dilihat dan yang didengarnya dari Maria. Sebelum kembali, Jenderal Van Limburg Stirum dan istrinya meninggalkan uang sebanyak empat puluh ribu gulden sebagai sumbangan, dengan bantuan itu dapat melunasi hutang PIKAT dan menambah peralatan sekolahnya.

Usaha yang dilakukan Maria untuk mencari dana bagi biaya sekolah ialah mengadakan pertunjukkan sandiwara ”Pingkan Mogogumoy”, sebuah cerita klasik Minahasa. Pertunjukan itu adalah yang pertama kali diadakan di Minahasa dan hasilnya cukup memuaskan. Sesudah itu, pertunjukan serupa diadakan di beberapa tempat lainnya.Dalam perkembangan selanjutnya, mata pelajaran semakin maju, dengan adanya kursus-kursus tambahan di luar jam pelajaran di sekolah yang dikelola oleh Huishoudschool. Mereka juga mengundang seorang guru yang berkompeten di bidangnya dan sesuai kebutuhan gadis-gadis Minahasa di masa itu, termasuk ibu-ibu yang berminat. Para istri pembesar dan orang-orang terkemuka di Manado-Minahasa berganti-ganti menjadi anggota pengurus dan pimpinan sekolah, demikian halnya dengan pengelolaan wisma Maria. Hal ini memberikan kemudahan Huishoudschool mendapat pengaruh kalangan elit di Minahasa.

Pada 1926, pengurus PIKAT membeli tanah di Sario dan di atas tanah itu dibangun gedung PIKAT. Lalu pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opleiding School voor vak onderwijs Zeressen atau Sekolah Guru Putri Kejuruan sebagai kelanjutan dari Huishoudschool. Artinya, bagi remaja putri yang sudah tamat Huishoudschool atau dari HIS dapat melanjutkan ke sekolah kejuruan ini. Murid-murid yang mendaftar untuk penerimaan pertama kali kurang lebih 20 orang, sedangkan guru-gurunya adalah lulusan Opleideng School voor Onderwijs, Jakarta. Dalam perjalanannya, tidak ada keberhasilan dan kemajuan tanpa hambatan. Ada-ada saja orang yang tidak menyukai kemajuan yang dicapai organisasi PIKAT dan Huishoudschool-nya. Desas-desus dan rumor di masyarakat berkembang tentang sekolah Huishoudschool ini dengan rupa-rupa tanggapan, seperti sekolah ini tidak akan bertahan lama dan ejekan-ejekan lainnya yang tidak enak didengar telinga. Ada saja orang yang mempertanyakan, apa saja yang dikerjakan oleh sekolah Maria ini dengan Huishoudschool-nya, apakah mereka mendidik gadis-gadis Minahasa untuk menjadi huishoudster? Suatu kalimat ejekan yang bermakna buruk. Huishoudster dapat disamakan dengan nyai atau yang dapat disamakan seperti selir-selir kerajaan, lebih kasar lagi gundik. Dan macam-macam kata ejekan yang dapat memerah telinga itu tak membuat langkah Maria surut.

Maria tetap bekerja dengan keras tanpa mengenal letih. Tiap bulan Maria berkunjung ke cabang-cabang PIKAT dan mengadakan rapat dengan pengurus-pengurus cabang setempat. Ia mengunjungi daerah-daerah seperti Tondano, Tomohon, Amurang, Airmadidi, Bolang, Mongondow, dan tempat tempat lainnya. Dalam rapat-rapat itu, dibahas kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum wanita sehari-hari.

Tahun 2017 ini, genap 100 tahun PIKAT berkarya untuk perempuan Minahasa dan Indonesia. Selain ratusan cabang PIKAT yang berdiri di berbagai penjuru nusantara, salah satu peninggalannya adalah gedung asrama Maria. Berdiri megah di Jalan Sam Ratulangi Manado. Dan bahkan saat ini IPG (Indeks Prestasi Gender) di Sulawesi Utara berada di urutan ke-3 di Indonesia.

Written by : Grace Kurniawan

SUMBER: Museum Kebangkitan Nasional

Categories: Tokoh

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *