Menjelang perayaan tujuh belasan, di daerah-daerah ramai dengan berbagai lomba, termasuk permainan tradisional juga turut dilombakan. Di Sulawesi Selatan, salah satu permainan rakyat yang dilombakan dan memeriahkan perayaan tujuh belasan adalah Ma’raga orang Bugis menyebutnya atau A’raga dalam bahasa Makassar. Ma’raga atau A’raga adalah permainan ketangkasan dengan menggunakan bola dari anyaman rotan yang disebut dengan raga. Ada beberapa sumber menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Melayu, namun ada juga yang menyebutkan dari Nias Sumatera Utara. Penyebarannya dari Barat ke Timur diperkirakan melalui perdagangan antar pulau dan melalui penyebaran agama Islam di Nusantara.

Pada mulanya Ma’raga dilakukan di kalangan bangsawan saja, kemudian berkembang di kalangan masyarakat luas. Menjadi permainan dan atraksi hiburan di kala senggang untuk membangkitkan suasana senang dan gembira bagi pemain dan penonton, atau konon bagi muda-mudi dijadikan sarana unjuk ketangkasan untuk menarik perhatian gadis pujaan. Selanjutnya berkembang menjadi atraksi hiburan untuk menjamu tamu atau memeriahkan perayaan, hingga menjadi permainan yang bersifat kompetetif dan diperlombakan.

Ma’raga atau A’raga menggunakan bola yang disebut raga, seperti yang dipergunakan dalam permainan sepak takraw, namun lebih tebal karena rotannya dianyam tiga lapis. Jumlah pemain biasanya terdiri dari 5 – 15 orang pria usia remaja sampai dewasa, dengan berpakaian adat Passapu atau destar. Passapu yang digunakan adalah jenis Passapu Patonro yaitu destar yang berdiri tegak. Permainan terkadang diiringi tetabuhan gendang sebagai penyemangat. Ketangkasan dalam memadukan unsur olahraga dan seni merupakan prasyarat untuk mahir dalam permainan ini. Aturan bermainnya cukup sederhana, yaitu setiap pemain yang menerima raga harus menjaga agar tidak jatuh ke tanah dengan menyepak, melambungkan atau memantulkan dengan tangan, bahu, atau anggota badan lainnya tanpa memegangnya. Pemain yang menjatuhkan raga tidak boleh melanjutkan permainan, atau dianggap kalah jika dalam perlombaan.

Cara bermain yaitu para pemain berdiri dan membentuk lingkaran. Salah seorang yang ditunjuk sebagai pemimpin permainan, biasanya yang tertua atau termahir memegang raga dan melambungkan ke atas sebagai tanda dimulainya permainan. Pemain yang dituju raga kemudian mulai memainkannya, lalu mengoper raga ke pemain lain, demikian seterusnya secara bergiliran. Seorang pemain tidak boleh memonopoli permainan atau menyerobot raga dari pemain lain. Masing-masing harus memiliki kesempatan dalam menunjukkan keterampilannya beratraksi dengan raga.

Saling mengoper raga dari kaki ke kaki, atau kaki ke anggota badan lain dilakukan sambil melakukan gerakan-gerakan seperti tarian atau sambil membentuk formasi tertentu. Cara sepak atau dalam Bugis – Makassar disebut sempak dilakukan dalam beberapa cara menurut kekuatan lambungannya. Pertama Sempak Sarring, artinya sepakan keras atau disebut anrong sempak yang artinya induk sepakan, yaitu dengan menggunakan telapak kaki dengan lambungan raga sekurang-kurangnya setinggi tiga meter dari permukaan tanah. Kedua Sempak Biasa, artinya sepakan biasa yaitu sepakan yang tinginya sedikit melampaui kepala pemain. Jenis sepa ini tidak ktermasuk penilaian dalam perlombaan karena dapat dilakukan oleh pemain-pemain pada umumnya. Ketiga Sepak Caddi, artinya sepakan kecil yaitu tingginya tidak melebihi pusar pemain, disini termasuk juga di dalamnya belo atau variasi. Belo adalah segala gerakan-gerakan yang indah dalam memainkan raga dengan tidak hanya menggunakan kaki tetapi juga tangan, siku, bahu, dada, perut paha dan lain-lain anggota badan kecuali kepala.

Permainan Ma’raga atau A’raga masih bertahan dan dimainkan oleh masyarakat sampai sekarang. Namun nampaknya permainan ini lebih banyak ditemukan di sanggar-sanggar dan mulai jarang ditemukan di masyarakat sebagai accule-cule atau permainan. Perkembangannya lebih bersifat komoditas hiburan atau pariwisata sehingga semangat accule-cule yang ada di dalamnya mulai berkurang. Salah satu cara agar permainan ini dapat bertahan dengan semangat accule-cule yang ada di dalamnya, yaitu dengan terus menerus memperkenalkan kembali kepada masyarakat. Melalui perlombaan-perlombaan pada kegiatan tujuh belasan seperti sekarang. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga berupaya melestarikan dengan menetapkan Ma’raga atau A’raga sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional. Ma’raga atau A’raga ditetapkan sebagai WBTB Nasional pada tahun 2016 dalam kategori keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.

 

Sumber: BPNB SULSEL

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *