Perjalanan Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaulat penuh pascaproklamasi kemerdekaan tidak semudah yang diharapkan. Negara baru bernama Indonesia menghadapi berbagai macam persoalan dalam menyusun pemerintahan yang baru, baik persoalan yang berasal dari dalam maupun persoalan dari luar. Jakarta sebagai ibu kota pemerintahan pasca proklamasi kemerdekaan ternyata menjadi wilayah yang keamanannya semakin tidak terkendali. Setiap hari terjadi pembunuhan atau penembakan yang dilakukan oleh tentara NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) atas penduduk yang tidak bersalah. Pengungsian mulai terjadi secara besar-besaran.

Persoalan yang berasal dari luar salah satunya adalah keberadaan tentara Sekutu di Indonesia yang berdalih akan melakukan pemindahan tawanan perang APWI (Allied Prisoners of War and Internees). Namun, kedatangan tentara sekutu ini diboncengi oleh pihak NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang ingin menjajah kembali Indonesia. Situasi politik menjadi memanas dan pertempuran untuk menegakkan kedaulatan RI kembali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Di sisi lain, perjuangan melalui jalur diplomasi juga dilakukan untuk menunjukkan eksistensi negara Indonesia di tingkat Internasional.

Awal kehidupan Republik Indonesia ditandai dengan suasana mencekam yang disebabkan oleh keganasan tentara NICA. Pada bulan Oktober, November dan Desember 1945 Jakarta mulai menjadi ajang kekerasan dan teror, menyebabkan keresahan penduduk sepanjang waktu. Tentara NICA memang selalu memancing insiden dimana-mana dan kapan saja, sehingga ribuan orang menjadi korban. Saat melakukan patroli keliling kota tentara NICA terkadang melakukan kamuflase dengan menggunakan kendaraan patroli palang merah.

Menurut pengakuan Presiden Soekarno sendiri dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, selama tiga bulan itu telah jatuh korban orang Indonesia yang tak berdosa, tak kurang dari 8.000 orang. NICA juga mendapat perintah dari atasannya untuk membunuh para pemimpin Republik sehingga terutama Soekarno dan Hatta terpaksa tidur berpindah-pindah rumah, sementara keluarga mereka selalu diliputi kecemasan yang amat sangat.

Situasi ini seperti konflik bersenjata, penggeledahan dan pemberlakuan jam malam membuat pemerintah Republik Indonesia melalukan protes kepada sekutu yang dianggap tidak menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia serta telah mengingkari kesepakatan awal yang hanya ingin membebaskan para tawanan perang dan pemulangan dan pelucutan senjata tentara Jepang.

Korban penembakan dan pembunuhan bukan saja menimpa rakyat dan pemuda pejuang saja, namun para pemimpin dan pejabat penyelenggara negara pun tak luput dari sasaran pasukan NICA. Seperti kejadian yang menimpa Mr. Moehammad Roem selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, terkena tembakan pada kakinya pada 21 November 1945 yang mengakibatkan harus dirawat di rumah sakit. Selain itu pula adanya upaya pembunuhan terhadap Menteri Penerangan Amir Syarifuddin di Pegangsaan Timur pada 28 Desember 1945. Teror juga menimpa Perdana Menteri Sutan Syahrir dari percobaan pembunuhan sebanyak dua kali, yang pertama pada 26 Desember 1945 dan kedua pada 2 Januari 1946.

Melihat kondisi tersebut Jakarta sebagai ibukota tidak mungkin dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Selain itu, kondisi keamanan yang tidak stabil tersebut dapat mengancam jiwa para pemimpin negara. Oleh karena itu, diadakan Sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 yang memutuskan untuk mencari wilayah yang relatif kondusif dari sisi keamanan agar roda pemerintahan dapat dijalankan dengan baik.

Saat senja, sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara, ditarik oleh lokomotif dari Stasiun Manggarai lalu berhenti di rel Pegangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Sebuah gerbong sengaja dipisah, untuk memberi kesan seolah-olah sebuah gerbong paling belakang yang dianggap tak penting dibandingkan gerbong lainnya. Namun justru di gerbong terpisah itulah terdapat Presiden, Wakil Presiden serta pemimpin penting lainnya beserta anggota keluarga berada. Hampir sama sekali tak membawa barang apa-apa. Di kegelapan malam yang sunyi diliputi suasana tegang pada 4 Januari 1946 itu berpindahlah Republik Indonesia dari pusat pemerintahannya ke Yogyakarta yang kemudian disambut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sejak saat itulah upaya untuk menegakkan kembali Negara Proklamasi diperjuangkan di ibukota yang baru, Yogyakarta. Meskipun demikian, Perdana Menteri Syarir tetap berkantor di Jakarta untuk menjaga komunikasi dengan pihak internasional untuk kepentingan perjuangan.

 

Kilasan Peristiwa di Jakarta Menjelang Pemindahan Ibukota

September 1945

8: Tujuh opsir Sekutu pimpinan Mayor A.G. Greenhalg mendarat dengan parasut di Lapangan Udara Kemayoran. Mereka termasuk rombongan misi Sekutu yang bertugas untuk melaporkan keadaan di Indonesia kepada South East Command (SEAC) di Singapura menjelang pendaratan Sekutu.

16: Sebuah Kapal Sekutu, HMS Cumberland pimpinan Admiral W.R. Patterson merapat di Tanjung Priok. Turut serta dalam kapal itu Ch.O. van der Plas, salah seorang pemimpin Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA).

29: Tiga divisi tentara Sekutu (Inggris) mendarat di Jakarta di bawah pimpinan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Philip Christison. Dalam rombongan ini membonceng beberapa orang dari Markas Besar Tentara Belanda serta satu kompi serdadu Ambon Belanda.

30: Presiden Soekarno mengumumkan supaya rakyat tidak menghalangi pendaratan tentara Sekutu selama pendaratannya untuk menjaga ketenteraman.

Oktober 1945

1: LetnaN Jendral Christison mengakui pemerintah Republik Indonesia pimpinan Soekarno dan Hatta secara de facto.

5: Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook dan Panglima Angkatan Perang Belanda di Timur Jauh, Admiral C.E.L Helfrich tiba di Jakarta.

6: Mulai terjadi kontak senjata antara orang Belanda yang memakai seragam Inggris dengan pemuda pejuang dan penduduk Jakarta lainnya.

21:Lord Louis Mountbatten. Panglima SEAC di Singapura menjelaskan pendiriannya tentang kedudukan tentara Inggris di Sumatera dan Jawa tidak akan mencampuri urusan-urusan politik dan administrasi.

23: Pertemuan tidak resmi antara Soekarno dan van Mook atas prakarsa Philips Christison yang bertempat di kediaman Christison di Jakarta.

27: Perundingan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan tentara Sekutu berhasil mencapai kesepakatan:

  • Tentara Sekutu dan Pemerintah RI bersama-sama memelihara keamanan
  • Akan dibuat kantor penghubung
  • Hanya tentara Jepang yang akan dilucuti

31: Perundingan pertama yang tak resmi antara Soekarno, Moh. Hatta dan van Mook di kediaman Christison. Sebagai penengah adalah Dr. M.E Dening kepala bagian politik SEAC. Perundingan tidak mencapai hasil yang diharapkan dan ditunda untuk waktu yang tidak ditetapkan.

November 1945

3: Lapangan Udara Kemayoran, yang merupakan Markas Tentara Belanda oleh rakyat Jakarta

5: Di Jakarta Utara terjadi pertempuran antara tentara Belanda dan barisan rakyat.

17: Di Jakarta berlangsung pembicaraan selama tiga setengah jam antara pemimpin-pemimpin Indonesia dan wakil-wakil Belanda tanpa menghasilkan suatu keputusan.

19: Di Sawah Besar dan Krekot, terjadi pertempuran antara rakyat dan tentara Inggris

20: Rakyat Jakarta menyerbu tangsi-tangsi Belanda dan Markas Tentara Sekutu

21: Markas Besar Polisi di Jakarta digeledah oleh Polisi Militer Inggris. Di Senen, Kramat, Kwitang, Prapatan dan Katapang terjadi kerusuhan-kerusuhan.

Desember 1945

10: Pihak tentara Sekutu di Jakarta mengajak staf TKR untuk bekerjasama

11: Seribu serdadu Inggris dan India mendarat di Jakarta.

23: Tentara Payung Inggris mengepung dan menggeledah rumah-rumah penduduk di Kwitang, Gang Kernolong dan Kalipasir untuk mencari senjata.

26: Percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir di daerah Menteng, dimana serdadu NICA menembaki mobil Sutan Syahrir.

28: Percobaan pembunuhan terhadap Menteri Penerangan Amir Syarifuddin di Jalan Pegangsaan Timur.

29: Polisi Negara Republik Indonesia dilucuti dan dibubarkan oleh pimpinan tentara Sekutu di Jakarta, kemudian dibentuk Civil Police (CP)

Januari 1946

2: Percobaan pembunuhan kedua terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir oleh serdadu NICA

3: Terjadi pertempuran di Jatinegara. Pihak Belanda membakar rumah-rumah penduduk.

  • Menjelang malam hari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dengan menggunakan kereta api pindah ke Yogyakarta. Keadaan di Jakarta sudah tidak aman lagi, namun kedudukan Perdana Menteri tetap di Jakarta.

 

SUMBER: MUNASPROK

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *