Bahasa Banyumasan, atau bahasa per-inyong-an, nyatanya, adalah bahasa yang diyakini sebagai bahasa tertua di tanah Jawa.

 

Bahasa Banyumasan, atau bahasa per-inyong-an, atau ngapak, atau kuna adalah bahasa yang melekat pada masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan, meliputi Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, hingga ke Brebes Selatan dan sisi utara Pekalongan. Wilayah kebudayaan eks Karesidenan Banyumas tersebut, faktanya, sangat berbeda dengan budaya sesama Jawa Tengah lainnya seperti di Jojakarta dan Solo. Semua terjadi akibat masuknya Mataram di Pulau Padi.

Masyarakat di Jawa pada mulanya dipengaruhi oleh dua agama yang sangat kuat saat itu, Hindu dan Budha. Agama Budha masuk ke Jawa terlebih dahulu dan berkuasa selama 10 abad, dari abad ke-5 sampai abad ke-10. Bukti-bukti dari hadirnya agama Budha dapat dilihat dari berdirinya Candi Borobudur pada abad ke-9 dan juga budaya masyarakat yang egaliter atau tanpa kasta. Ajaran Sidharta Gautama tersebut melekat di dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai sebuah falsafah hidup yang tidak mengenal perbedaan kelas, usia, maupun kedudukan sosial di masyarakat. Bahasa, salah satunya, menjadi bukti paling nyata dari ajaran egalitarian tersebut.

Ketika Kerajaan Mataram masuk ke tatanan hidup masyarakat Jawa pada abad ke-16, perubahan masal pun terjadi. Agama Hindu, agama yang menganut sistem kasta, merupakan agama yang dibawa oleh Kerajaan Mataram dan menjadi dasar hidup masyarakat Jawa pada abad ke-17. Sistem kasta atau pembagian kelas tersebut kemudian berimbas dengan lahirnya kebudayaan dan bahasa yang baru. Kesenian masyarakat yang semula bersifat dari rakyat untuk rakyat, berubah menjadi kesenian adiluhung sesuai dengan apa yang disukai oleh lingkungan keraton. Bahasa pun turut berubah. Bahasa Kuna yang semula tidak memiliki pembagian strata penggunaan, lambat laun berubah menjadi Bahasa Kromo yang memiliki pembagian padanan kata sesuai dengan umur dan strata sosial. Sederhananya, pelafalan yang semula berdialek A (Hanacaraka) berubah menjadi dialek O (Honocoroko).

Lalu mengapa bahasa Banyumasan masih ada sampai saat ini?

Sebagai wilayah pinggir dari daerah kekuasaan Mataram yang berpusat di Jogjakarta dan Solo, area Banyumasan sedikit luput dari pengaruh perubahan konsolidasi keraton. Karena sulitnya berkonsolidasi langsung dengan masyarakat Banyumasan, pengaruh perubahan yang dibawa oleh Mataram, pada akhirnya, tidak terlalu menyentuh ke daerah dengan Bahasa Jawa Kuna ini. Meskipun begitu, Bahasa Jawa Kuna yang masih dilestarikan oleh masyarakat Banyumasan kini sudah mulai terpapar oleh Bahasa Kromo meskipun penggunaannya lebih sederhana.

Masuknya bahasa wetan tersebut ke Banyumas dipengaruhi oleh 4 aspek: Aspek Kekuasaan yang berasal dari utusan kerajaan atau disebut dengan Gandek, Aspek Kesenian seperti penggunaan bahasa kromo pada Wayang/Golek Banyumas, Aspek Pendidikan yang dimulai pada tahun 1920an ketika mulai diajarkan bahasa Jawa terbaru di sekolah, dan Aspek Pesantren melalui penerjemahan kitab-kitab Bahasa Arab ke dalam Bahasa Jawa kromo.

 

Sumber: Ahmad Tohari, 2018. Penulis Ronggeng Dukuh Paruk dan Budayawan Banyumasan.

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *