Jaladwara merupakan bagian dari bangunan candi yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan (talang air). Tujuannya untuk mencegah air mengalir ke sisi-sisi candi dan meminimalisir pengikisan pada dinding bangunan. Teknik inilah yang kerap digunakan sebagai upaya untuk melestarikan Candi Borobudur.

Tindakan preventif kerusakan pada Candi Borobudur tidak hanya sebatas melakukan pemugaran semata. Mekanisme penyaluran air yang kurang tepat juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bangunan candi. Pasalnya, jika terlalu banyak air hujan yang masuk ke celah-celah batu akan memengaruhi kondisi bukit di bawah Candi Borobudur. Oleh karena itulah jaladwara di Candi Borobudur merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem drainase.

Jaladwara (Gargoyle) umumnya dihias dengan bentuk-bentuk yang menyeramkan, seperti hewan buas dengan mulut terbuka lebar sebagai jalan keluarnya air. Bentuk-bentuk yang menyeramkan tersebut kerap disesuaikan sesuai dalam mitologi Hindu, yakni penggambaran makhluk mistis bawah air.

Khusus untuk Candi Borobudur terdapat tiga variasi bentuk jaladwara yang tersebar di struktur candi. Ketiganya ialah antefiks yang berlokasi di pagar langkan selasar, kepala Kala di pagar langkan lorong 2,3,4 dan 5, serta Makara yang ditopang Gana di pagar langkan lorong pertama.

Sistem drainase asli Candi Borobudur mengalirkan air melalui permukaan Candi Borobudur yang kemudian air ini dialirkan ke tingkat di bawahnya melalui gargoyle yang berada di sekeliling candi. Proses ini akan berlangsung dari tingkat paling atas sampai selasar hingga akhirnya air sampai ke tanah halaman dan lereng bukit candi. Namun konstruksi Candi Borobudur yang tidak memiliki spasi isian antar celah-celah batu menyebabkan banyak air yang akhirnya masuk mencapai tanah bukit.

Seperti diketahui, banyaknya air yang tersimpan di bukit candi menyebabkan tanah menjadi jenuh dan tidak mampu menyangga beban batuan di atasnya. Oleh karena itu ketika dilakukan survei oleh Cornelius pada tahun 1814, banyak dinding candi yang berada dalam kondisi melesak, miring dan sebagian runtuh. Air yang masuk ke celah-celah candi tidak hanya berakibat buruk untuk tanah bukit, tetapi ada juga yang ke samping. Ini dikarenakan tidak semua air menyalir ke bawah.  Hal tersebut mengakibatkan keluarnya air dari celah dinding vertikal candi yang terdapat panil relief cerita. Air dari bukit tersebut keluar dengan membawa mineral dan menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dan penyakit batu lainnya.

Pada Pemugaran I Candi Borobudur (1911-1914) sistem drainase tersebut masih dipakai oleh van Erp. Namun van Erp melakukan penambahan spesi mortar di celah batuan pada permukaan lantai Arupadhatu, lantai lorong dan selasar candi. Permukaan lantai lorong dibuat sedikit miring untuk mengarahkan air langsung ke jaladwara. Cara ini bertujuan agar dapat membuat air hujan tidak lagi menembus ke tanah bukit, melainkan langsung keluar melalui jaladwara.

Sistem drainase lama kembali digunakan hingga dilakukannya perubahan besar-besaran sistem pengendalian air pada Pemugaran II (1973-1983). Sistem pengendalian air dengan melalui jaladwara tidak menjadi yang utama. Pengendalian air pada sistem drainase baru lebih banyak dilakukan di dalam tubuh candi daripada di luar tubuh candi dengan mengalirkan air lewat saluran-saluran di bawah batu candi dan dilengkapi dengan lapisan kedap air.

 

Sumber:

Jaladwara pada Sistem Drainase Lama Candi Borobudur

 

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *