Desa Anggopiu merupakan sentra perajin tenun yang berada di wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Secara historis, tenun tradisional yang berkembang di provinsi ini diperkirakan berawal di Buton dan sudah ada sejak abad VXI pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Pada awalnya keterampilan menenun hanya berkembang di lingkungan keraton yang dilakukan oleh dayang-dayang serta orang dalam keraton. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pakaian bagi golongan bangsawan dan kerabat kesultanan. Seiring dengan permintaan dan kebutuhan pakaian semakin banyak, kegiatan menenun akhirnya dikembangkan hingga ke luar lingkungan keraton.

Keterampilan menenun orang Buton kemudian disebarluaskan ke daerah-daerah sekitar, seperti Muna, Konawe dan Kendari. Hanya saja, khusus untuk daerah Konawe dan Kendari, kegiatan menenun tidak mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini disebabkan karena minat masyarakat daerah tersebut lebih cenderung pada kegiatan ekonomi di bidang pertanian, perikanan (nelayan) dan kerajinan anyaman. Kendati demikian, hasil kain tenun di wilayah ini terbilang unik lantaran motifnya memiliki kemiripan dengan motif tenun Bugis. Dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh Bugis yang berkembang di daerah ini.

Benang polyster, benang les, dan benang emas/perak merupakan tiga bahan baku yang kerap digunakan penenun. Benang polyster dan benang emas/perak biasanya digunakan sebagai benang pakan dan lungsi. Secara tekstur keduanya cenderung halus dan elastis, berbeda dengan benang les yang serat-serat benangnya jauh lebih besar. Benang dengan karakteristik tersebut berfungsi sebagai benang tambahan pada saat membentuk motif di kepala kain.

Biasanya, ada dua jenis peralatan yang digunakan oleh penenun, yaitu gedogan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pada masa lalu hingga tahun 1980-an, penenun masih menggunakan satu alat tenun, yaitu gedogan. ATBM baru digunakan pada awal tahun 1990-an yang diperkenalkan oleh seorang pengusaha dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kendati demikian, alat tenun gedogan masih tetap digunakan oleh sebagian penenun di Desa Puuwonua dan di Desa Tobimeita.

Kedua alat tenun tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal produksi. Penenun yang menggunakan alat gedogan dapat menyelesaikan sehelai sarung selama tiga hingga tujuh hari. Sedangkan bila menggunakan ATBM dapat menyelesaikan sehelai sarung selama satu hari. Bahkan, bagi mereka yang sangat terampil dapat menyelesaikan tiga sarung selama dua hari.

Kain atau sarung yang diproduksi dengan alat gedogan lebarnya sekitar 65 x 400 cm, sehingga kain tersebut harus dipotong dua terlebih dahulu kemudian dijahit, lalu disambung kembali untuk mendapatkan sehelai sarung. Sebaliknya, kain yang diproduksi dengan ATBM lebarnya sekitar 130 x 200 cm, kain tersebut tidak perlu dipotong atau langsung saja disambung dengan cara dijahit. Kualitas kain dari kedua jenis alat tersebut semuanya sama, yang membedakannya tergantung dari bahan benang yang digunakan.

Para penenun lebih banyak memproduksi kain dalam bentuk sarung. Sebab hampir semua kegiatan adat banyak menggunakan sarung, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Adapun motif yang dimunculkan sangat beragam, diantaranya motif balo gambere, motif barik subbek dan motif balo panta. Sarung dengan motif balo gambere memiliki warna dasar hitam dan putih dengan motif kotak-kotak, sedangkan motif barik subbek lebih mengedepankan motif kotak dengan warna dasar hitam dan merah tua. Untuk motif balo panta, si penenun memunculkan motif kotak dengan garis terputus berwarna dasar gelap, saja hitam, merah tua dan hijau tua.

Kain tenun tradisional Tolaki dapat diperoleh para pembeli hanya dengan mendatangi langsung usaha tenun dan memesan kain maupun sarung yang diinginkan. Dari sini biasanya pembeli memperoleh harga yang jauh lebih murah dibandingkan membeli di toko. Para penenun juga kerap menyalurkan hasil produksi melalui perantara, seperti butik, toko, pasar tradisional dan pedagang keliling. Rupanya kain tradisional produksi Desa Anggopiu ini sudah didistribusikan hingga ke berbagai daerah di luar Sulawesi Tenggara, sebut saja Makassar, Jakarta dan Surabaya.

 

Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/2014/06/11/tenun-tradisional-konawe/


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *