Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Didesa-desa maupun di kota-kota, masyarakat masih sering mempergelarkan wayang kulit dalam kaitannya dengan upacara Agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata.

Asal usul wayang kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli, dan masih belum ada kesepakatan apakah wayang kulit memang asli Indonesia, dari India, atau pun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX.

Di dalam tiga dekade terakhir ini wayang kulit mengalami suatu perkembangan yang cukup menggembirakan. Sekalipun kualitas pertunjukan wayang kulit secara umum tampak menurun atau jumlah penonton berkurang, akan tetapi telah bermunculkan dalang-dalang muda yang siap untuk menggantikan dalang-dalang tua yang sudah tidak bisa pentas lagi. Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran terhadap kesenian mereka, wayang-wayang kerasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni pewayangan di Bali, dan tidak kalah pentingnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang laki-laki.

Wayang kulit Bali yang sejak masa lampau cukup eksis sebagai tari wali, bebali, dan balih-balihan serta banyak dikaitkan dengan upacara adat dan agama di Bali, sekitar tahun 1980-an sempat mengalami kelesuan akibat lemahnya mutu pertunjukan yang sarat dengan pakem-pakem tradisional. Di samping itu, arus informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mengglobal juga ikut menyebabkan lemahnya minat masyarakat untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Namun, berkat kreativitas dan inovasi-inovasi yang dilakukan para dalang belakangan ini wayang kulit Bali masih cukup eksis, terutama pertunjukan wayang kulit yang tergolong kreasi baru. Salah satu wayang kulit Bali yang memiliki fungsi sebagai pelengkap upacara keagamaan dan dipentaskan pada siang hari atau pada saat upacara berlangsung adalah wayang lemah.

Wayang lemah dibeberapa tempat juga disebut dengan wayang gedog. Wayang ini merupakan wayang yang dimainkan dalam rangka upacara agama Hindu di Bali. Wayang lemah dipentaskan tanpa mempergunakan layar atau kelir dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan) sepanjang sekitar satu sampai satu setengah meter diikatkan pada batang kayu dapdap yang dipancangkan pada batang pisang di kedua sisi dalang. Gamelan pengiringnya adalah gender wayang yang berlaras slendro (lima nada).

Wayang lemah atau wayang gedog ini dapat dipentaskan pada siang, sore atau pada saat upacara keagamaan berlangsung. Pendukung pertunjukan wayang ini adalah yang paling kecil, 3 sampai 5 orang, yang terdri dari seorang dalang, dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan wayang lemah biasanya mengambil tempat di sekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung pementasan yang khusus. Adapun lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber dari cerita Mahabharata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan upacara yang diiringinya. Durasi pementasan Wayang lemah pada umumnya singkat sekitar 1 sampai 2 jam. (WN)

 

 

Sumber:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2018/02/23/wayang-lemah-pelengkap-upacara-keagamaan-di-bali/

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *