Upacara Naik Dango merupakan upacara syukuran atas panen padi yang dilaksanakan setahun sekali tiap tanggal 27 april di rumah adat Suku Dayak (rumah betang). Naik Dangomerupakan ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Sang pencipta) atas berkah yang diberikan berupa hasil panen yang melimpah. Selain bersyukur Naik Dango juga menjadi ritual doa agar panen pada tahun mendatang juga melimpah dan dibebaskan dari hama dan bencana.

Proses adat dan ritualisasi budaya pada acara Naik Dango ini adalah bentuk aktualisasi kearifan lokal masyarakat Dayak Kanayatn Kalimantan Barat dalam menghargai anugerah dari sang pencipta yang masih berlangsung hingga saat ini.

“Upacara Naik Dango didasari mitos di kalangan orang Dayak Kanayatn tentang asal mula padi yang berasal dari setangkai padi milik Jubata di gunung bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek yang sedang mengayau. Dari sinilah manusia dalam bahasa Dayak disebut Talino mulai mengenal padi sebagai makanan pokok mereka.”

Prosesi upacara adat Naik Dango ditandai dengan menyimpan seikat padi yang baru selesai di panen di dalam lumbung padi (dango)  oleh setiap kepala keluarga masyarakat dayak yang bertani atau berladang. Padi yang disimpan di dalam dango nantinya akan dijadikan bibit untuk ditanam bersama-sama dan sisanya menjadi cadangan pangan untuk masa-masa paceklik. Selanjutnya proses menimang padi yang diikuti dengan pemberkatan padi oleh ketua adat.

PROSES RITUAL NAIK DANGO

Dalam tradisi nenek moyang Dayak Kanayatn, Naik Dango diawali dengan pertemuan antar penduduk di kampong sehabis panen untuk merencanakan pelaksanaan Naik Dango. Pertemuan dilaksanakan beberapa hari sebelum pelaksanaan ritual itu diselenggarakan.

Setelah diputuskan hari pelaksanaan, setiap keluarga sehari sebelumnya memasak beberapa makanan, sebagai simbol hasil dari kebudayaan agraris masyarakat. Kegiatan ini disebut batutu’. Makanan yang dimasak antara lain beras ketan yang dimasak di dalam bambu berukuran besar dan tumpi (semacam roti cucur). Awalnya kaum perempuan menumbuk padi, ketan atau tepung  didalam lesung. Selanjutnya baru dimasak. Nasi dibungkus dalam daun laying. Tidak lupa disediakan ayam yang masih hidup.

Bahan-bahan itu dibawa ke dango bersama dengan padi hasil panen. Dalam dango dilaksanakan upacara nyangahatn atau disebut juga barema. Di situlah, doa-doa dari pamane atau tetua adatpun teruntai kepada sang pencipta atau Nek Jubata.

Pada hari pelaksanaan Naik Dango dilakukan lagi ritual nyangahatn sebanyak 3 kali ditempat yang berbeda.

Pertama nyangahatn lakukan di sami atau pelataran utama yang ada di radank. Nyangahatn ini bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar menuju ke rumah adat.  Setelah itu nyangahatn dilakukan lagi di baluh atau langko atau lumbung padi. Nyangahatn ini bertujuan mengumpulkan semangat padi yang tadinya telah dipanggil agar berkumpul disebuah tempat yaitu lumbung padi atau dango.  Selanjutnya, nyangahatn dilakukan di pandarengan atau sejenis tempat penyimpanan beras besar. Tujuan nyangahatn ini adalah memberkati padi agar dapat bertahan dalam waktu yang lama serta tidak cepat habis.

Inti dari upacara Naik Dango adalah saat dilakukannya nyangahatn.  Dalam prosesnya terlihat ada yang namanya tingkakok nimang padi,  simbol yang mengingatkan proses turunnya padi dari Jubata kepada manusia.

Dalam tingkakok nimang padi / padi yang merupakan hasil panen setiap tahun akan dibawa ke lumbung padi dengan iringan tari-tarian. Hal ini merupakan ungkapan kasih dan rasa syukur yang mendalam atas berkat panen yang diberikan.

Setelah para tetua adat melakukan ritual nyangahatn,  masyarakat adat dari berbagai sub Suku Dayak Kanayatn dari berbagai kampung melakukan penyimpangan masing masing hasil panen mereka yang disimpan di rumah betang. Para pangayokng atau kontingen menyerahkan hasil panen dengan ragam atraksi yang dihantar oleh para pemuda dan tokoh adat setempat

Pada masa sekarang /  kemasan upacara adat Naik Dango ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran kerajinan tradisional. Hal ini kemudian menyebabkan sisi yang lebih ditonjolkan dalam pelaksanaan Naik Dango hanya merupakan sebuah pesta rakyat. Namun jika dilihat dari sisi tradisi akarnya, Naik Dangotetap merupakan sebuah upacara adat

Dengan penyajian berbagai unsur tradisional dalam rangkaian upacara adat Naik Dango ini, tersimpulkan bahwa Naik Dango tidak lagi hanya sebagai sarana dalam mempererat silaturahmi antar masyarakat dayak tetapi juga berkembang sebagai sebuah event eksotis suku dayak, karena menjadi satu-satunya peristiwa budaya sub Suku Dayak Kanayatn yang dilaksanakan rutin tiap tahun.

 

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *