Keragaman di Ternate dan Tidore terbentuk sejak prasejarah…

Jika anda berkunjung ke Ternate dan Tidore, akan terlihat keragaman masyarakatnya. Keragaman itu adalah hasil pencampuran berbagai masyarakat yang datang dari berbagai wilayah dunia ke tempat ini. Sejak zaman prasejarah, Kepulauan Maluku Utara telah menjadi daerah pertemuan antara suku bangsa Melanesia dan Austronesia.

Melanesia merupakan suku bangsa yang kali pertama mendiami wilayah Nusantara. Mereka memiliki ciri-ciri fisik kulit gelap, rambut keriting, dan berbahasa Melanesia. Seperti suku bangsa Papua pedalaman dan Papua Nugini saat ini. Suku bangsa Austronesia datang pada sekitar 5000 tahun yang lalu. Diperkirakan dari wilayah Taiwan dan Filipina sekarang. Ciri-ciri mongoloid adalah kulit terang, rambut lurus, dan berbahasa Austronesia. Bahasa ini merupakan bahasa yang paling banyak dan tersebar luas di Nusantara.

Kuali peleburan pada masa sejarah

Memasuki zaman sejarah, wilayah Maluku Utara seolah “kuali peleburan” bangsa-bangsa. Oleh karena semakin banyaknya “tamu-tamu” yang datang. Mereka kemudian menetap dan membentuk masyarakat Maluku Utara. Bukti tertulis pertama mengenai wilayah Maluku Utara ada sejak awal Abad Masehi sampai dengan sekitar abad ke-14 M. Ketika sumber tertulis suku bangsa lain di Indonesia mencatat mengenai daerah tersebut. Sementara bukti tertulis dari daerah Maluku Utara berasal dari Sultan Zainal Abidin (1486–1500 M) sebagai sultan pertama yang memerintah Ternate.

Anehnya pengaruh agama dan kebudayaan Hindu-Buddha, yang banyak ditemukan di Nusantara tidak begitu besar. Jika tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali. Sejarah Maluku Utara terutama Ternate dan Tidore pada umumnya dimulai sejak pendirian kesultanan di kedua pulau itu.

Pengaruh Islam

Kedatangan Islam di kepulauan ini menurut tradisi setempat dimulai sejak abad ke-14 M. Raja Ternate ke-12 yang bernama Molotmateya (1350–1357 M) telah bersahabat dengan orang-orang Arab, dan saling bertukar pengetahuan tentang pelayaran. Kedatangan bangsa Arab di Maluku Utara sebagai salah satu faktor penyebaran agama Islam. Tentu saja berkaitan erat dengan daya tarik Ternate dan Tidore sebagai pulau penghasil cengkeh dan pala. Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin (1486–1500 M) Islam merupakan agama resmi kerajaan. Sultan Zainal Abidin mendapat bimbingan agama dari madrasah Giri di Gresik, Jawa Timur.

Demikian juga dengan Pulau Tidore, Kesultanan Tidore menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan sejak masa pemerintahan Sultan Jamaluddin (1495–1512 M). Sejak Islam menjadi agama resmi Kesultanan di Ternate dan Tidore, budaya masyarakat Maluku Utara diwarnai oleh unsur-unsur agama Islam. Kedaton sebagai Istana Sultan beserta masjid kesultanan pun didirikan. Hingga kini kedua bangunan tersebut masih dapat dikunjungi di Ternate dan Tidore.

Kedatangan Bangsa Portugis

Pada 1512, Fransisco Serrão seorang Portugis menginjakkan kakinya di pantai Kepulauan Maluku Utara. Ia adalah orang Eropa pertama yang berhasil mencapai lokasi penghasil cengkeh dan pala, yang merupakan komoditas primadona perdagangan dunia. Pada masa itu, pasokan komoditas tersebut di Eropa ditutup oleh embargo dari Kesultanan Turki Usmani. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Eropa berlomba-lomba mencapai lokasi penghasil rempah-rempah.

Pada 1522, Kesultanan Ternate bersekutu dengan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah. Persekutuan tersebut disusul dengan pendirian Benteng São João Baptista de Ternate. Kini lebih dikenal sebagai Benteng Kastela. Reruntuhan Benteng Kastela masih dapat dikunjungi hingga saat ini. Benteng ini dilengkapi gerbang dan jendela melengkung yang besar.

Pada 27 Februari 1570 M, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis di dalam benteng ini. Hal ini memicu kemarahan yang luar biasa dari seluruh rakyat Ternate. Akibatnya Portugis diusir dsari pulau ini oleh Sultan Baabullah, putra Sultan Khairun pada 1575 M.

Kedatangan Bangsa Spanyol

Kedatangan Bangsa Portugis segera diikuti oleh Bangsa Spanyol. Armada yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan mendarat di Tidore pada 1521. Mereka membentuk persekutuan dengan Kesultanan Tidore. Armada Spanyol berada di Kepulauan Maluku Utara pada 1527–1534 M. Pada 1544 hingga 1545 M persekutuan Ternate-Portugis dan Tidore-Spanyol mewarnai sejarah Maluku Utara. Pada 1606 M, Spanyol akhirnya dapat menguasai Ternate dan Tidore. Kemudian mendirikan benteng Santiago de los Cabarellos de Tidore. Kini lebih dikenal sebagai benteng Tahula di Tidore.

Reruntuhan benteng Spanyol di pesisir pantai Cobo di Tidore pun masih dapat dijumpai. Benteng ini lebih dikenal dengan nama Benteng Cobo. Benteng yang dibangun pada 1530 M ini memiliki sudut pandang ke pelabuhan Ternate. Posisisi seperti sangat strategis, sehingga menjadikannya sebagai benteng pengintai. Kini tinggal reruntuhan dan tertutup pepohonan. Akan tetapi gundukan bekas benteng masih dapat terlihat hingga saat ini.

Perseteruan kedua bangsa pendatang

Perseteruan kedua bangsa Iberian tersebut dalam memperebutkan kepulauan rempah-rempah kemudian diperkeruh dengan kedatangan bangsa Belanda. Dengan serikat dagangnya yang terkenal, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada 1607 M, Laksamana VOC Cornelis Matelief de Jonge bersekutu dengan Kesultanan Ternate. Konflik pun terjadi antara Ternate-VOC dan Tidore-Spanyol. Konflik ini akhirnya dimenangkan oleh pihak Ternate-VOC. Pada tahun yang sama, VOC mendirikan benteng di atas bekas Portugis yang bernama Benteng Malayo. Benteng tersebut selesai dibangun pada 1609. Kemudian diberi nama Benteng Oranje oleh Gubernur Maluku pertama, Paulus van Carden. Pada 17 Februari 1613, ketika Pieter Both menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, Dewan Komisaris VOC di Belanda menetapkan kekuasaan Maluku sebagai pusat kedudukan resmi VOC. Benteng Oranje dijadikan sebagai tempat tinggal resmi para gubernur jenderal tersebut. Benteng ini masih dapat dikunjungi hingga saat ini.

Daya tarik cengkeh dan pala di Ternate dan Tidore sejak dahulu kala telah menarik bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia. Interaksi antara bangsa-bangsa inilah yang membentuk masyarakat Maluku Utara saat ini baik dari segi budaya maupun fisik. Jika anda ingin menikmati keragaman internasional di Indonesia, datanglah ke Ternate dan Tidore! (Yosua Adrian Pasaribu-Sub Direktorat Registrasi Nasional)

 

Sumber: Direktorat PCBM

Categories: Sejarah

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *