Semasa pengasingan di Ende, Flores-NTT, Soekarno banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Ratusan buku yang ia ‘lahap’ membentuk cara ia berpikir dan mengasah kemampuan menulisnya. Kebiasaan menulis ini ia bawa hingga ke Bengkulu. Di sana Soekarno mulai membuat tulisan yang diterbitkan di surat kabar.

Kebiasan menulis Soekarno bermulai dari perantaraan dengan pers. Mula-mula Soekarno menulis untuk Pandji Islam, sebuah majalah Muhammadiyah yang diterbitkan di Medan. Di sini Soekarno lebih condong menulis artikel-artikel bernuansa keislaman, yakni tentang bagaimana islam harus menanggapi tuntutan zaman modern.

Apa yang dimaksud Soekarno dengan modernisasi agama Islam, ia jelaskan dalam contoh kejadian rumah tangga yang sederhana. Salah satunya yakni membiarkan Ratna, putrinya, mencuci panci dengan sabun yang airnya sudah diminum oleh anjing peliharaan mereka. Kala itu Ratna berpendapat bahwa bukankah sebaiknya panci harus digosok dengan pasir lalu dibilas dengan air tujuh kali seperti yang telah diajarkan oleh Nabi.

“Ratna, ada masa hidup sang Nabi orang masih belum mengenal sabun dan obat-obat penyuci hama. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. tidak bisa mengajar orang untuk menggunakan sabun dan obat-obat penyuci hama,” ujarnya suatu ketika ke Ratna, seperti yang ia tuangkan pada tulisannya. Tak hanya itu, Soekarno melalui tulisan-tulisannya meyakinkan ke pembaca bahwa sudah saatnya umat Islam tidak lagi “hidup dalam zaman unta, melainkan dalam zaman pesawat terbang”. 

Tak lama kemudian, Soekarno dikritik habis-habisan oleh Mohammad Natsir, Kepala Sekolah Pendidikan Guru ‘Persis’ Bandung atas artikel yang sudah dimuat di surat kabar tersebut. Natsir beranggapan bahwa nasihat Soekarno terhadap putrinya merupakan cerminan dari cara berpikir yang terlampaui batas dan berpotensi membuat orang lain terjerumus.

Dalam artikel lain yang diterbitkan di Pandji Islam Soekarno membahas tentang transfusi darah, yang saat itu menjadi bahan perdebatan orang-orang muslim. Artikelnya yang berjudul “Transfusi Darah dan Pendapat Para Pemimpin-pemimpin Agama” Soekarno mengambil posisi yang jelas. Ia menyebutkan kualitas darah seseorang tidak ada hubungannya dengan agama yang ia peluk. Tak hanya itu, karangannya yang berjudul “Sekali Lagi Transfusi Darah” Soekarno menghimbau para pemimpin Islam untuk memberi kejelasan dan dalam persoalan yang aktual ini. Ia berpendapat bagi seseorang yang terluka, yang terpenting ialah kepentingan transfusi darah itu sendiri.

Majalah Pandji Islam bukan satu-satunya media tempat Soekarno menghasilkan tulisan. Pada Juni 1940 Soekarno menjadi koresponden tetap harian Pemandangan. Artikel Soekarno di harian tersebut hampir semua mengenai kejadian-kejadian masa perang. Soekarno membatasi diri dengan topik-topik yang bersifat netral. Topik netral yang dikemukakan Soekarno ialah mengenai India, yang dituliskannya menjadi dua artikel. Dalam tulisannya, suami Fatmawati ini memaparkan dua pertanyaan. Apakah Inggris akan mengumumkan kemerdekaan India dan India dapat mengurus negaranya sendiri. Melalui tulisan-tulisan bertopik netral inilah secara tidak langsung Soekarno menunjukan jalan meskipun menuju kemerdekaan Indonesia.

 

Sumber: buku Soekarno: Biografi 1901 – 1950 karya Lambert Giebels. Grasindo: Jakarta. 2001.

Categories: Tokoh

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *