Hubungan bangsa asing dengan Semarang sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu, termasuk hubungan dengan bangsa Cina. Perairan Laut Jawa turut berperan dalam hubungan perdagangan internasional ini dan mulai berkembang pesat sejak abad ke-6 M. Dengan adanya interaksi yang terjadi, menyebabkan pelabuhan-pelabuhan di wilayah utara Jawa ramai akan pedagang baik lokal maupun asing. Sebagian besar komoditas yang diperjualbelikan didominasi oleh perdagangan rempah-rempah. Wilayah Semarang sendiri terkenal dengan komoditas beras, biasanya ditukarkan dengan para pedagang yang sempat singgah di Pelabuhan Semarang untuk memenuhi kebutuhan logistik sebelum berlayar lebih jauh lagi. Selain itu, aktivitas bater juga terjadi antara pedagang pribumi dengan pedagang Cina yang menukarkan hasil alam dengan barang-barang seperti keramik porselin.

Hubungan erat antara Semarang dengan Cina diperkuat setelah kedatangan Laksamana Ceng-Ho pada abad ke-14 M. Rombongan Ceng-Ho singgah di wilayah Semarang karena kapal yang mereka tumpangi membutuhkan perbaikan sebelum kembali ke daerah asalnya. Kemudian, mereka mendirikan pemukiman sebagai tempat mereka tinggal sementara waktu. Selain itu, faktor angin muson juga menyebabkan mereka tidak dapat berlayar ke Cina. Pada waktu itu, Laksamana Ceng-Ho yang merupakan seorang muslim, membangun masjid Cina di wilayah pemukiman tersebut. Selain itu, juga terdapat Klenteng Sam Poo Kong yang digunakan rombongan Ceng-Ho untuk melakukan aktivitas ibadah. Keberadaan masjid dan klenteng ini mengindikasikan rombongan yang ikut bersama Ceng-Ho menganut agama islam dan Konghucu.

Populasi masyarakat Tionghoa di wilayah Semarang semakin banyak dan cukup berpengaruh. Jejak keberadaannya juga semakin beragam seperti klenteng-klenteng hingga pecinan. Pecinan atau pemukiman Tionghoa merupakan suatu wilayah yang berisi masyarakat keturunan Tionghoa dan biasanya rumah yang mereka tinggali digunakan juga sebagai aktivitas perdagangan. Pecinan di Semarang telah mengalami perkembangan dan perpindahan selama beberapa kali. Oleh karenanya, letak pecinan yang asli sejak awal masuknya bangsa Tionghoa diduga telah tiada. Meski begitu, kita masih bisa melihat kawasan pecinan Semarang yang muncul pada abad ke-17 saat Semarang menjadi bagian dari Mataram yang berpihak pada VOC. Warga Tionghoa yang tidak senang akan hal tersebut terpaksa berpindah lokasi di dekat Kali Semarang hingga sekarang masih dapat dijumpai. Hingga saat ini pula kawasan pecinan masih menjadi pusat perdagangan dan berkembang di tengah Semarang yang strategis.

Tidak berhenti sampai di situ, unsur Tionghoa wilayah Semarang yang masih dapat dijumpai di masa sekarang yaitu motif batik semarangan. Motif batik semarangan ini memperlihatkan corak Tionghoa pada warna dasar batik dan motif yang sedikit terpengaruh secara mencolok. Warna yang digunakan yaitu jingga-kemerahan meskipun motif batik yang dimiliki tidak jauh berbeda dengan motif batik di kota-kota pesisir utara Jawa yang lain.

Berdasarkan tinggalan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa Semarang yang menjadi titik simpul strategis jalur rempah memberikan dampak bagi hubungan masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa dan turut meninggalkan jejak-jejak kebudayaan bahkan tidak sedikit diantaranya masih dapat dijumpai di masa sekarang.

Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *