182

Solo-Rumah di Gang Kepuh itu sedikit lengang, tampak bagian teras rumah tersebut masih sedikit berantakan karena renovasi. Pada ruangan depan rumah tersebut tersaji beberapa alat gamelan rumah tersebut adalah kediaman sekaligus sanggar kecil milik ibu Supadminingtyas, nanti saya maunambahpinjam lagi mas dari Taman Budaya Surakarta begitu jawabnya ketika ditanya perihal banyaknya alat gamelan yang yang berjajar di ruang tamu rumahnya. Alat itu saya pakai untuk mengajar, namun belum cukup, karena pesertanya masih banyak begitu jelasnya. Ibu Supadminingtyas atau biasa disebut dengan Nyi Supadmi ketika diatas panggung itu merupakan salah satu maestro yang dipilih oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melatih para peserta Belajar Bersama Maestro yang dibuat oleh pemerintah.

Sewaktu masih muda ia hidup dalam keadaan yang serba susah, baginya mengenyam pendidikan adalah hal yang sangat mustahil. Pada sekitar tahun 60an ia mengikuti bibinya menjadi pembantu rumah tangga, kemudian sambil berjualan kue. Uang yang dimilikinya ditabung perlahan-lahan, hingga suatu ketika ia dapat mendaftar paket C. Awal mula perkenalannya dengan dunia sinden, bermula ketika tahun 1967 di sekitaran lingkungannya dibuka pelatihan karawitan, namun kala itu ia tidak memiliki uang untuk mendaftar dan keberanian untuk mengikutinya. Ia hanya duduk di sisi rumah tempat latihan yang berdindinggedhek*itu, dan mencuri dengar pelajaran kala itu. Suatu ketika ketika para peserta yang berada di dalam disuruh untuk menembang satu persatu, namun karena Supadmi kecil memiliki suara yang lantang, maka suara dia yang paling terdengar. Kejadian itu membuat sang pemilik sanggar kecil itu menganjurkan agar Supadmi belajar kepada Bapak Sutarman karena menurut si pemilik sanggar, Supadmi sangat berbakat.

Kemudian ia punnyantrikkepada Bapak Sutarman, sambil bekerja. Setelah belajar oleh Bapak Sutarman, kemudian Supadmi bekerja sebagai waranggana (pesinden) di Radio RRI Surakarta, pada suatu kesempatan ia ditawari untuk mengikuti kontes sinden antar radio RRI. Supadmi tidak menyangka dia memenangkan lomba tersebut. Semenjak hal itu, namanya menjadi terkenal di seantero Surakarta. Kemudian ia pun menjadai waranggana rombongan Ki Narto Sabdo, dan belajar lebih dalam lagi mengenai dunia waranggana.Kesempatan besar menghampirinya, ia ditawari menjadi dosen tamu untuk mengajarkan sinden di Amerika, tidak banyak berpikir ia langsung mengiyakan tawaran tersebut. Sepulangnya dari mengajar, nama Supadminingtyas pun semakin dikenal, beberapa kali ia masuk menjadiheadlinesurat kabar baik di Jawa Tengah, maupun Surakarta. Beberapa kali ia juga mengikuti misi kesenian di luar negeri, seperti Belgia, Italia, dan Perancis. Ia pun menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta.

Tidak hanya aktif sebagai pengajar dan peserta misi kebudayaan saja, beliau pun aktif menulis tembang, menghasilkan berbagai rekaman. Total sekitar 160 lebih kaset rekaman yang ia hasilkan. Ia juga menggubah beberapa tembang, dan menulis beberapa buku mengenai tembang dan sinden. Hal yang paling jarang dilakukan oleh pesinden manapun. Hal yang paling menakjubkan adalah ketika ia menjadipengajar warga asing yang ingin belajar menjadi waranggana. Salah satunya adalah Hiromi Kano, warga negara Jepang yang saat ini menjadi sinden yang sukes baik di Indonesia maupun mancanegara.

Rumah yang lengang itu menjadi saksi bagaimana seorang waranggana yang hanya dikenal diantara desa dan dusun, menjadi terkenal hingga mancanegara. Para Peserta BBM tiba, beliau memberikan pelajaran mengenai tembang, suaranya masih lantang dan amat merdu, mengalir diantara keheningan rumah itu. Sesekali badannya menegakkan tubuhnya yang renta, dengan perut yang sedikit membesar karena mengidap infeksi hati. Walaupun demikian, beliau masih dengan sabar mengajari para calon waranggana muda di rumahnya.

Beberapa bulan di rumah itu sudah tidak ada lagi tembang yang bergema. Semakin sunyi dengan lingkungan yang sepi dan asri. Pagi ini, Nyi Supadminingtyas berpulang menghadap Sang Kuasa meninggalkan seorang suami, tiga orang anak dan beberapa cucu. Kini Gema tembang dan lelagonnya menggema lebih jauh hingga menyentuh alam yang abadi.

ri na wengi/ tan sah dadi ati/ suk kapandak/ kanthi/ manjing jero tilam rum/

Setiap malam selalu ada di hati, besok kapan kan akan ku nanti, merasuk ke dalam hati

Mijil Tilarum : Supadminingtyas-

(Indra Eka Widya Jaya)

Categories: _kontenlama