Bukan hal yang mudah bagi Soekarno menerima kenyataan dirinya harus berada di penjara Sukamiskin selama 25 bulan. Meski ia tak pernah menerima segala bentuk aniaya, di sana Soekarno jauh lebih menderita karena tak ada kontak manusiawi. Masa tahanan yang harus dilewati Soekarno di Sukamiskin yang bersih dan modern itu dirasakan jauh lebih berat daripada bulan-bulan penahanannya di gedung reot di Bantjeuj, dengan sel-sel yang kotor dan prasarana serba kurang. Ia merindukan sifat-sifat kekeluargaan dan suasana keakraban semasa di tahanan.

Soekarno dikurung di sel bernomor 233, yang terletak di lantai pertama di salah satu ujung sel sayap. Ukurannya amatlah sempit yakni sekitar dua kali tiga meter. Hanya saja penataannya cukup praktis, ada tempat tidur, toilet dan daun meja yang menempel pada tembok. Sekadar ventilasi, ada teralis besi yang terdapat di bagian atas dinding. Suasana sel Sukamiskin yang tergolong nyaman itu tak membuat Soekarno berhenti merasakan rindu yang luar biasa, baik dengan teman sesama tahanan Gatot dan Maskoen, maupun sang istri tercinta.

Semua tahanan yang dikurung di Sukamiskin dicukur gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari kain katun kasar. Untuk giliran makan dan mandi saja, setiap kelompok diberi batas waktu hanya sekian menit. Selain waktu makan, istirahat dan mandi, para tawanan hampir tak bisa kontak satu sama lain. Menghadapi kondisi yang seperti ini membuat Soekarno kian hari kian murung dari biasanya.

Kemurungan Soekarno selama ditahanan dirasakan oleh Inggit. Inggit menyaksikan betapa suaminya yang bersifat easy going makin lama makin murung. Ia tak dapat berbuat banyak untuk meringankan nasibnya. Untuk mengobati rasa rindu Soekarno, Inggit selalu membawa kue-kue buatannya sendiri yang di dalamnya terdapat surat-surat kecil berisikan cerita yang tak berani ia utarakan di depan para penjaga.

Selama di tahanan Soekarno kerap mendabakan buku. Bagi Soekarno, buku-buku di penjara tidak lah semenarik perpustakaan pada umumnya. Buku-buku keagamaan lebih banyak dipajang di sana. Hal ini pernah diungkapkan oleh Im Yang Tjoe, lelaki berdarah Tionghoa yang bekerja di Sukamiskin.

“Saya mengerti bahwa Allah itu baka, mencakup seluruh alam semesta. Mahakuasa. Maha hadir, tidak di sini atau di sana, tetapi di mana-mana,” ujar Soekarno kepada Im Yang Tjkane ketika itu. Menurut Im, pengetahuan tentang agama perlahan dipelajari Soekarno selama masa tahanan. Ini membantu presiden pertama Republik Indonesia itu untuk menerima apa yang menimpa dirinya sendiri dengan hati lapang.

Pada pertengahan September 1931 Soekarno mendengar berita tentang kebebasannya pada 31 Desember mendatang. Kebebasan ini tak lain atas pernyataan Gubernur Jenderal De Graeff yang mengkritik Pengadilan Negeri Bandung atas dihukumnya Soekarno menjelang akhir jabatannya. Keputusan menghakimi Soekarno adalah sebuah kurangnya ketelitian. “Bahwa orang yang dihukum itu sebenarnya hanya mengejar satu cita-cita,” ungkapnya.

 

Sumber: buku Soekarno: Biografi 1901 – 1950 karya Lambert Giebels. Grasindo: Jakarta. 2001.


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *