Hééé Kayu ari uten rime simӧrip wan arul pematang,
Bur ijo tingir I sagi ni karang
Tabi ko ulung ranting cabang, batang lesuh rues rantang
Sibergel Jempa, Gesing, Kuli, Keruwing atawe Medang
Tuahmu bang si cacak bepilih kati kutebang
Malé kurasuk, kupantik kin reje tiang
Penupang ni supu, sesérénni rering
Sike ko kaso turun, bere bujur, ko bere lintang.

Wahai kayu dari hutan rimba yang hidup di lembah dan ketinggian,
Gunung biru curam di tepi tebing
Maaf kepada daun ranting cabang, batang lurus ruas angina
Yang bernama Jempa, Gesing, Kuli, Keruwing ataupun Medang
Tuahmulah yang layak bepilih hendak kutebang
Akan kurasuk susun, kutegakkan unutk reje tiang
Penopang atap supu, tempat sandaran dinding
Kaulah kayu turun, balok bujur, kaulah balok lintang.

Demikian syair Tari Sining, salah satu tarian masyarakat Gayo yang berada diambang kepunahan. Tarian ini tidak pernah lagi dipentaskan dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, pada tahun 2017 Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kesenian melakukan upaya revitalisasi terhadap tarian ini, salah satu usaha merekonstruksi tarian yang didasarkan pada penelitian serta diskusi panjang yang berkesinambungan dengan para budayawan dan akademisi lokal.

Tari Sining diperkirakan muncul dan eksis pada sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dalam kehidupan masyarakat Gayo tempo dulu, tari ini digelar dalam dua prosesi adat; (1) prosesi saat mendirikan rumah baru, dan (2) sebagai bagian dari prosesi upacara memandikan dan penobatan raja (munikni reje).

Pada prosesi mendirikan rumah, Tari Sining ditarikan di atas kayu (bere lintang) yang melintang di antara dua fondasi dengan ketinggian mencapai 8 hingga 12 meter di atas permukaan tanah. Sehari sebelumnya, tari ini juga ditarikan di atas dulang dalam posisi merapat ke tanah.

Pada prosesi kedua, Tari Sining dilakukan ketika akan melantik atau menobatkan seorang raja. Tarian digelar di tempat terbuka (lapangan) atau dekat dengan sumber air (pinggiran danau). Sebagai bagian dari prosesi penobatan, Tari Sining juga dilaksanakan secara berkala setiap tahunnya kepada raja sebagai simbol pembersihan diri atas segala khilaf selama memimpin.

Gerakan Tari Sining sangat dinamis dan heroik. Tidak sembarang orang dapat melakukan tarian ini di atas bere lintang. Tidak jarang penari – (hanya) laki-laki- melakukan puasa sehari sebelum menari sehingga unsur magis-religius juga melekat pada tari ini. Diiringi syair mistik dan kuat, Tari Sining dapat digambarkan sebagai tari yang indah, energik, dinamis dan simbolik yang mengambarkan dan menirukan gerakan burung ungau dan burung wo. Filosofi tari ini adalah sebagai simbol kekuatan, keteduhan, kedamaian dan keharmonisan antara penghuni rumah dengan alam.

Tari Sining terakhir kali ditarikan pada tahun 1946. Mengingat kondisinya saat ini, maka perlu adanya sebuah upaya rekonstruksi. Berangkat dari kondisi tersebut, melalui kegiatan revitalisasi seni oleh Direktorat Kesenian, maka diformulasikanlah konstruksi penampilan Tari Sining dengan harapan tari ini akan kembali dikenal oleh masyarakat dan bangkit kembali.

Nurmila Khaira

 

 

 

SUMBER: BPNB ACEH

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *