BPNB DIY, Maret 2019 – Malang terletak di bagian selatan Surabaya, dan berjarak sekitar 80 Kilometer jauhnya. Malang berada di daerah dataran tinggi yang sudah pasti memiliki hawa yang sejuk. Selain itu, ternyata kekayaan etnis dan budaya yang dimilikinya berpengaruh terhadap kesenian tradisional yang ada. Salah satu di antaranya yang sangat terkenal adalah tari topeng malang / malangan (di luar daerah Malang lebih terkenal dengan penyebutan tari topeng wayang panji). Gaya kesenian ini merupakan wujud pertemuan dari tiga budaya, yakni budaya Jawa Tengahan, budaya Madura, dan budaya Tengger.

Salah satu Sanggar Wayang Topeng yang ada di Malang adalah Sanggar Asmoro Bangunyang berada di Dukuh Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Sanggar Asmoro Bangun ini diampu oleh Tri Handoyo. Tri Handoyo merupakan keturunan langsung (generasi kelima) dari Maestro Topeng Karimun (Mbah Mun) yang telah meninggal pada tahun 2010. Menurut Tri, dalam perkembangannya, seni pertunjukan berproperti topeng itu tidak seluruhnya melakonkan cerita Panji, namun juga memainkan lakon dan cerita-cerita lainnya yang berasal dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana.

Tari andalan dari Sanggar Asmoro Bangun, adalah Tari Topeng Malang. Tari ini disajikan dengan diawali ritual memanjatkan doa untuk memohon kelancaran jalannya pertunjukan. Setelah itu sambil diiringi lantunan gamelan, empat orang penari keluar secara berurutan masuk ke panggung / arena pertunjukan. Gerakan gagah tiga orang penari pria, begitu rampak berpadu dengan satu orang penari putri, menyajikan pertunjukan yang menarik. Alunan musik gamelan laras pelog, menambah nuansa tarian menjadi semakin indah. Para penari dan penabuh gamelan seakan mengajak para penonton menuju sebuah masa di mana cerita di tari yang disajikan ini berada.

Menjadi penjaga tradisi, penjaga budaya, merupakan tugas yang sangat berat. Idealisme harus tetap selalu dijaga, di antara banyaknya kebutuhan hidup yang selalu menuntut untuk dipenuhi. Menurut Tri Handoyo, sekarang tidak banyak lagi orang yang cukup mampu melakukan hal yang dilakukan oleh para tokoh kesenian pada zaman dulu kala, di mana uang bukanlah tujuan utamanya. Tri Handoyo menceritakan, ketika para pendahulunya berkesenian, tidak memikirkan untung atau rugi, bahkan modal pribadi pun tak dipikir lagi untuk dikeluarkan saat menggelar pertunjukan dengan segala biaya yang pasti muncul dan membuat kondisi keuangan merugi. Tetap lestarinya tradisi dan budaya nenek moyang, merupakan tujuan utama yang ingin dicapai, dengan harapan kelak, anak cucu dan generasi penerus, dapat menyaksikan dan mengerti, bahwa sejak dahulu kala, bangsa dan negara ini telah memiliki akar tradisi dan budaya yang kuat.

Pada sebuah film yang sempat sukses di pasaran, menurut Dilan rindu itu berat. Mungkin bila para pegiat budaya seperti Tri Handoyo dan para pegiat budaya lainnya bisa berujar selayak Dilan, mereka akan berkata, “Bukan rindu yang berat, menjaga tradisi dan budaya itu lebih berat di masa sekarang di mana laju zaman semakin cepat dengan hiruk pikuk modernitas, maka marilah kita bersama-sama menjaga dan melestarikan tradisi serta budaya luhur warisan para leluhur pendahulu kita, yang memiliki banyak nilai-nilai adiluhung yang dapat diserap dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemajuan bangsa dan negeri ini”.

 

 

SUMBER: BPNB Yogya

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *