Salah satu tradisi tahunan yang ada di Surabaya ialah riyoyo kupat. Bentuk tradisi ini yaitu dengan makan kupat bersama warga masyarakat di sekitarnya yang diadakan di masjid atau mushola. Setiap warga membawa sendiri-sendiri kupat atau ketupat dari rumah kemudian diadakan acara selamatan atau bancakan. Setelah selesai selamatan, kupat tersebut kembali dibawa pulang. Warga biasanya membeli janur untuk membungkus kupat di pasar tradisional di sekitar wilayah Surabaya. Riyoyo kupat ini dilaksanakan sepekan setelah hari raya Idul Fitri bagi umat muslim dengan suasana yang sangat akrab dan semarak.

Warga biasanya membuat bungkus kupat dari janur yang dibentuk persegi, kemudian diisi dengan beras lalu dimasak beberapa jam hingga matang sampai menyerupai lontong. Lontong berbeda dengan kupat. Perbedaan yang paling menonjol dapat dilihat dari bentuknya. Lontong berbentuk bulat panjang sedangkan kupat berbentuk persegi. Keduanya berbahan dasar beras, tetapi lontong dibungkus dengan daun pisang sedangkan ketupan atau kupat dibungkus dengan janur (daun kelapa muda). Aroma yang keluar dari kedua makanan tersebut juga berbeda.

Ketupat biasanya dibuat sehari sebelum acara riyoyo kupat, dimana sebelumnya warga juga saling berkunjung ke tetangga dan sanak saudara untuk mengantar ketupat sebagai media silaturahmi. Ketupat disajikan bersama makanan pendamping orang Surabaya mengistilahkan dengan nggowo konco) seperti kuah sup, lodeh, kare, sambel goreng ati, dan lain-lain.

Dalam Bahasa Jawa kupat adalah singkatan dari ngaKU lePAT yang berarti mengaku salah. Secara fisik, ketupat juga mengadung makna filosofis mulai dari bentuk, isi, hingga bahan pembungkusnya. Dari segi warna, ketika ketupat dibelah dan berwarna putih melambangkan kebersihan dan kesucian hati setelah meminta maaf atas segala kesalahan. Bahan pembungkus ketupat adalah daun kelapa muda atau janur yang berarti JAtining NUR atau hati nurani. Beras sebagai isi dari ketupat sebagai simbol hawa nafsu manusia. Secara keseluruhan kupat bermakna nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

Keberadaan kupat tidak dapat dipisahkan dari lepet. Lepet sendiri adalah makanan terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan sedikit biji kacang panjang kering dan dibungkus janur. Makanan ini biasanya hadir sebagai pelengkap kupat. Secara filosofis lepet berarti lengket, yang dapat diartikan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Dengan adanya lepet ini diharapkan tumbuh sifat arif dengan memaklumi bahwa setiap manusia memiliki kesalahan dan hendaknya dapat memaafkan orang lain.

Dalam tafsir yang lain, kupat dimaknai sebagai kaffatan yang berasal dari Bahasa Arab yang bermakna kesempurnaan dalam arti kembalinya manusia kepada fitrah (kesucian) saat merayakan hari raya Idul Fitri. Kaffatan dalam logat Surabaya atau Jawa Timur menjadi kupatan.

 

Teks: Subiyantoro || Foto: Prejengane Kutho Suroboyo

Sumber: BPNB D.I Yogyakarta

 

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *