Beragam makna dapat ditemui pada setiap cagar budaya. Cagar budaya yang masih dapat ditemui dalam wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan salah satunya adalah tinggalan dari Kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa diawali dengan adanya sembilan kerajaan-kerajaan kecil, yang disebut dengan Kasuwiyang Salapang. Namun sering terjadi perselisihan di antara kerajaan-kerajaan ini. Keadaan ini berlangsung hingga munculnya “tomanarung”. Tomanurung kemudian diangkat menjadi Raja Gowa pertama. Kerajaan Gowa mulai dikenal dunia di akhir abad 16 dan awal abad ke 17. Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasan diawali pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV.

Benteng Somba Opu

Benteng Somba Opu berlokasi di Kelurahan Sapiria Kelurahan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Benteng Somba Opu merupakan benteng induk dari Kerajaaan Gowa. Dalam perjalanan sejarahnya telah melewati beberapa fase.

Di Fase pertama pembangunan Benteng Somba Opu berlangsung pada masa pemerintahan Raja Gowa IX. Pada tahun 1525, Raja Gowa ini memerintahkan memasang tembok dari tanah liat di sekeliling Kota Somba Opu. Setelah itu, pusat pemerintahan Kerajaan Gowa yang semula berada di Benteng Kale Gowa dipindahkan ke Benteng Somba Opu.

Fase kedua berlangsung pada masa pemerintahan Raja Gowa X. Pada masa ini dilakukan perkuatan struktur dinding benteng dengan bata. Selain itu, raja memerintahkan pendirian dewala dan benteng mulai dipersenjatai dengan sejumlah meriam. Benteng Somba Opu dipergunakan sebagai benteng utama sekaligus bandar niaga. Beberapa pemukiman pedagang Melayu dan perwakilan dagang Portugis telah didirikan di sebelah selatan Benteng Somba Opu.

Fase ketiga yang berlangsung pada masa pemerintahan Raja Gowa XII. Untuk memperkuat benteng, raja ini memerintahkan untuk memasang bata di sekeliling tembok Kota Somba Opu. Selain itu, sejumlah meriam ditambahkan pada benteng ini.

Pada Fase keempat, Raja Gowa XIV Sultan Alauddin menyempurnakan dan memperkuat benteng Somba Opu dengan berpuluh-puluh meriam. Pada masa ini pusat pemerintahan dikembalikan ke Benteng Kale Gowa dan Benteng Somba Opu hanya menjadi kota raja dan bandar niaga yang diurus oleh syahbandar. Perkembangan Somba opu menjadi bandar niaga yang semakin besar dan ramai, tidak lepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, sehingga kegiatan perniagaan bergeser ke timur.

Fase kelima perkembangan Benteng Somba Opu berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa XVI (1653-1670). Sultan Hasanuddin banyak melakukan penyempurnaan dan perkuatan bagian luar benteng ini. Ia juga memindahkan kembali pusat pemerintahan ke Benteng Somba Opu. Dengan demikian, benteng ini menjadi tempat kediaman raja sekaligus pusat pemerintahan dan perniagaan.

Fase kelima ini merupakan fase terakhir karena setelah itu Benteng Somba Opu mengalami kehancuran setelah Sultan Hasanuddin mengalami kekalahan dari Belanda pada Perang Makassar. Pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh Benteng Somba Opu dapat dikuasai oleh Belanda. Benteng dan istana Somba Opu diratakan dengan tanah.

Pada tahun 1980, BPCB melakukan pemugaran dan merekonstruksi Benteng Somba Opu. Saat ini, Benteng Somba Opu menjadi objek wisata sejarah dan budaya.

Masjid Katangka

Masjid Katangka berlokasi di Jalan Syekh Yusuf, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.

Mesjid Tua Katangka merupakan mesjid pertama dan tertua di Gowa yang dibangun pada masa pemerintahan raja Gowa XIV (Sultan Alauddin) pada tahun 1603. Penamaan mesjid ini dari nama Syufi Kharismatik yang dipuja masyarakat Sulawesi Selatan. Syufi tersebut adalah Syeh Yusuf Al Makkasari yang merupakan kerabata raja Gowa.

Luas bangunan 212,7 m2 dan dikelilingi pagar besi, dengan tiang pagar dari tembok. Arsitektur bangunan merupakan campuran bangunan Makassar dan Islam. Dalam bangunan terdapat tiang soko guru, mimbar dan mihrab. Pintu masuk menuju ke beranda mesjid hanya sebuah terletak di muka. Pada dinding depan sebelah kiri-kanan pintu terdapat hiasan kerawang yang berfungsi sebagai lubang angin. Di beranda ini terdapat tembok dan di bagian atasnya berkerawang dari keramik yang semula dipergunakan pembatas tempat wudhu.

Tiga buah pintu masuk ke ruang tengah tempat sholat memiliki hiasan tulisan Arab dan berbahasa Makassar. Tulisan ini terdapat di ambang pintu bagian atas. Atap mesjid bertingkat tiga dari bahan genteng. Antara atap mesjid tingkat dua dan tiga terdapat pemisah berupa ruangan berdinding tembok dengan jendela di keempat sisinya. Di puncak mesjid terdapat mustaka.

Kompleks Makam Sultan Hasanuddin

Kompleks Makam Sultan Hasanuddin berada pada puncak bukit Tamalate yang termasuk Kelurahan Katangka Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa. Lokasi ini sangat mudah dijangkau dari 2 arah. Dari Jalan syekh Yusuf hanya berjarak sekitar 1 km dan dari arah Jln Pallantikang hanya berjarak 1,5 km.

Di areal Kompleks makam ini terdapat 14 buah makam yang sebahagian besar merupakan makam bekas Raja-Raja Gowa. Bentuk Makamnya berupa makam bentuk punden berundak dengan sistem susun timbun yang merupakan cungkup makam, serta bentuk kubah dan bentuk sederhana hanya berupa jirat/kijing persegi empat dengan sistem papan batu.

Sultan Alauddin, Raja Gowa ke XIV

I Mangngarangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin “Tumenanga ri Gaukanna” merupakan Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam. Beliau lahir pada tahun 1586 dan meninggal pada tanggal 15 Juni 1639. Pada masa pemerintahannya, beliau dibantu oleh Raja Tallo yaitu Sultan Abdullah. Saat itu, kerajaan Gowa berkembang menjadi kerajaan Maritim. Beliau meninggal setelah menjadi Raja selama 46 tahun yang kemudian digantikan oleh anaknya yaitu, Sultan Malikussaid.

Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke XV

I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid “Tumenanga ri Papanbatuna” merupakan Raja Gowa ke XV. Beliau lahir pad tanggal 11 Desember 1605 dan meninggal pada tanggal 6 November 1653. Sultan Malikussaid memerintah selama 14 tahun. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Gowa berkembang pesat. Selama kepemimpinannya Sultan Malikussaid kerap kali mengajak Hasanuddin yang masih berusia remaja untuk menghadiri perundingan-perundingan penting. Hal ini tiada lain dilakukan untuk mengajarkan Sultan Hasanuddin tentang  ilmu pemerintahan, diplomasi dan strategi peperangan.

Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke XVI

Makam Sultan Hasanuddin

I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin “Tumenanga ri Balla Pangkana” merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid. Beliau lahir pada tanggal 12 Januari 1631. Sultan Hasanuddin memerintah pada masa kejayaan Kerajaan Gowa karena Gowa merupakan kerajaan besar   di   wilayah   timur   Indonesia   yang menguasai jalur perdagangan. Namun, saat itu Belanda sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

Kondisi ini menyebabkan timbulnya pertikaian dan memicu terjadinya konflik bersenjata antara Kerajaan Gowa dan kompeni Belanda, apalagi setelah meninggalnya Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingngalloang dan digantikan oleh Karaeng Karunrung yang tidak kenal kompromi dengan sikap Belanda yang sangat licik semakin mempercepat timbulnya perang antara Kerjaaan Gowa dengan kompeni Belanda.

Akibat kalah melawan Belanda, Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan pada 23 Juni 1669 dan beliau wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Beliau memerintah dari tahun 1653-1669. Atas jasa perjuangannya melawan penjajahan Belanda, maka pemerintah menganugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 087/TK/1973 tertanggal 6 November 1973.

 

Sumber:

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/2016/10/06/ragam-cagar-budaya-tinggalan-kerajaan-gowa/

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *