Ketenangan di wilayah penduduk kolonial Hindia Belanda pada awal 1913 menjadi terentak ketika pemerintah pada Juni 1913 mengeluarkan pernyataan resmi akan menyelenggarakan perayaan genap 100 tahun kemerdekaan negara itu dari cengkeraman Napoléon Bonaparte.  Pernyataan pembebasan negeri Belanda dari kekuasaan Prancis juga akan dirayakan secara besar-besaran di wilayah koloni. Menurut pernyataan itu, tidak hanya orang Belanda yang akan merayakan peringatan itu, akan tetapi juga akan melibatkan penduduk bumi putera. Untuk merayakannya, akan dipungut derma yang berasal tidak hanya dari dari orang-orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni, akan tetapi juga akan dipungut dari penduduk bumi putera. Pemungutan derma ini berlaku bagi seluruh penduduk di wilayah ini.

Himbauan pemerintah ini memperoleh reaksi yang luar biasa dari tokoh masyarakat, khususnya masyarakat bumi putera. Mereka berpendapat bahwa tidaklah sepantasnya bila pesta perayaan kemerdekaan itu  melibatkan penduduk bumi putera, karena kondisi mereka yang masih dijajah.  Mereka bahkan memprotes mengapa rencana perayaan itu akan diselenggarakan secara besar-besaran. Seyogianya perayaan itu diselenggarakan secara tertutup di Societeit atau di tempat-tempat tertutup lainnya. Banyak penduduk bumi putera termasuk para tokohnya mempertanyakannya, karena mereka tidak mengerti dan tidak paham mengapa mereka diharuskan terlibat dalam acara tersebut. Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa himbauan ini merupakan suatu hinaan terbuka yang ditujukan kepada mereka.

Atas prakarsa dr, Tjipto Mangoenkoesoemo (selanjutnya disingkat TM), didirikanlah Inlandsche Comite tot Hardenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid,  yaitu “Panitia Peringatan 100 tahun Kemerdekaan Belanda”.  Komite ini diketuai oleh TM dengan sekretaris dan bendahara RM Soewardi Soerjaningrat (selanjutnya disingkat SS). Sedangkan posisi komisaris dipegang oleh Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra. Komite yang baru dibentuk ini lebih dikenal sebagai Comite Boemi Poetra. Komite ini sengaja dibentuk untuk memprotes dilibatkannya penduduk bumi putera dalam memperingati 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, yang diikuti dengan pemungutan sumbangan. Akibat dari kegiatan ini tokoh TM, SS, dan selanjutnya EFE Douwes Dekker ini harus menghadapi pengadilan.

Komite ini selain bereaksi keras atas desakan pemerintah Hindia Belanda agar penduduk bumi putera ikut serta dalam bentuk pemberian sumbangan/derma  dalam peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, juga memberikan reaksi atas suatu rencana dari pemerintah kolonial yang akan membentuk Koloniale Raad, yaitu suatu Dewan Kolonial yang beranggotakan sebanyak 29 orang. Dewan ini dibentuk dengan komposisi 21 orang anggotanya berasal dari orang  Belanda dan sisanya  8 orang adalah wakil dari kaum bumi putera. Dari 8 orang wakil bumi putera tersebut, 5 di antaranya adalah berasal dari para bangsawan yang menduduki jabatan bupati, suatu jabatan tertinggi yang boleh diduduki oleh penduduk bumi putera. Kelima bupati ini diangkat oleh pemerintah kolonial. Tentu saja, mereka lebih memperjuangkan kepentingan mereka pribadi dan kepentingan pemerintah kolonial dari pada kepentingan penduduk bumi putera. Dengan demikian, Komite ini sengaja dibentuk untuk membela kepentingan penduduk bumi putera  dan meneruskan saran, pendapat, kritik yang disampaikan untuk diteruskan kepada pemerintah kolonial.

Perjuangan Ketiga Tokoh di Komite Boemipoetra

Komite bumi putera selanjutnya mengumpulkan uang yang diperoleh dari para anggotanya. Tujuan pengumpulan uang itu adalah sebagai ongkos pengiriman telegram yang akan dikirimkan kepada Sri

Ratu Belanda Wilhelmina. Telegram yang dikirimkan itu berisi selain untuk mengucapkan selamat atas peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, juga meminta agar Sri Ratu mencabut Peraturan Pemerintah nomor 111 yang melarang kaum bumi putera untuk berkumpul dan berpolitik, serta dibebaskan dari pengumpulan sumbangan dalam rangka peringatan tersebut. Selain mengirimkan telegram, Komite Bumi putera juga mengirim utusan untuk beraudiensi dengan Gubernur Jenderal di Batavia, yang saat itu dijabat oleh Gubernur Jenderal Idenburg, dengan maksud untuk menyampaikan seperti apa yang dituliskan dalam telegram yang dikirimkan kepada Sri Ratu.

Menteri Koloni Pleyte sempat merasa heran, mengapa kaum bumi putera dilibatkan dalam kegiatan ini. Namun, ia lebih merasa heran lagi, mengapa kaum bumi putera juga dipungut sumbangan secara paksa guna menyukseskan  perayaan tersebut di Hindia Belanda. Propaganda yang berupa iklan, pamflet banyak beredar di koran-koran di Jawa. Melalui harian Tjahaja Timoer di Malang telah dipasang iklan  agar masyarakat bumiputera bersedia mengumpulkan sumbangan itu. Demikian pula dari  harian Pantjaran Warta  terbitan Batavia juga terdapat iklan yang isi dan tujuannya sama. Bahkan SS sempat menyaksikannya sendiri, ketika Asisten Residen di Buitenzorg dengan bantuan kaum bumi putera sibuk mengumpulkan sumbangan yang berasal dari masyarakat itu.  Ketika melihat kejadian tersebut, SS kemudian melakukan protes ketidaksetujuannya terhadap pengumpulan uang dari kaum bumi putera. Setelah kejadian tersebut pemerintah menuduh Komite Bumi Putera telah melakukan kekacauan di Buitenzorg.

Semua kegiatan di Komite itu dimotori oleh TM dan SS. EFE Douwes Dekker menyusul kemudian karena saat peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Negeri Belanda. Upaya mereka sebagai pendiri Indische Partij tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda. Bahkan Indische Partij yang sudah dua kali mengajukan diri untuk memiliki badan hukum, ditolak, padahal semua persyaratan telah dipenuhi termasuk Anggaran Dasarnya.  Usulan untuk memperoleh status badan hukum untuk partai mereka diajukan lagi pada 5 Maret 1913, dengan perubahan pada anggaran dasarnya sesuai permintaan dari pemerintah kolonial, agar lebih menekankan pada kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun apa yang diharapkan oleh pengurus Indische Partij tetap ditolak.

Categories: Sejarah

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *