Bilamana berziarah ke tempat-tempat religius, salah satu situs menarik untuk dikunjungi adalah Gua Maria Sendangsono. Berlokasi di Dusun Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta; Gua Maria ini tidak hanya menjadi sarana kontemplasi umat Katolik, tetapi berperan pula sebagai tempat napak tilas budaya. Gua Maria Sendangsono dibangun pada tahun 1927—1929 dan diresmikan tanggal 8 Desember 1929.

Asal mula nama Sendangsono berawal dari sebuah sumber air yang terletak di bawah pohon angsana. Kata “Sendang” merupakan istilah Jawa untuk menyebutkan sumber air, sedangkan “Sono” berarti pohon Sono/Angsana. Sumber air di bawah pohon sono tersebut dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Konon menurut legenda, ada dua makhluk yang menguasai daerah itu, yakni seorang ibu bernama Dewi Lantamsari, dan anak satu-satunya, Den Baguse Samijo. Selain itu menurut kisah yang dituturkan antar generasi, sumber air Sendangsono atau yang dikenal dengan Semagung, digunakan sebagai tempat peristirahatan para bhiksu yang hendak menempuh perjalanan ke Borobudur.

Sumber air Semagung/Sendangsono kemudian diberkati oleh Rama van Lith SJ pada 14 Desember 1904 dan menjadi tempat pembaptisan 173 umat Katolik. Sesuai dengan keyakinan umat Katolik, air yang telah digunakan untuk baptis (diberkati) akan menjadi air suci. Rama JB. Prennthaler SJ pada tahun 1923 mengusulkan agar Sendangsono menjadi tempat yang suci dengan membangun gua tempat kedudukan Bunda Maria. Patung Bunda Maria diperoleh dari Swiss dan diangkut bersama-sama dari Sentolo Wates, Kulon Progo, 30 km dari Sendangsono. Pada 8 Desember 1929 Gua Maria Sendangsono pun diberkati.

Gua Maria Sendangsono yang diperuntukkan untuk tempat ziarah sekaligus tempat ibadah ini merupakan wujud rasa syukur umat Katolik Kalibawang. Rasa syukur tersebut dihaturkan umat melalui Bunda Maria. Ada 19 lonceng di Sendangsono sebagai sarana pendukung peribadatan, yang berbunyi tiap jam 6.00, 12.00, dan 18.00 WIB. Tahun 1958 dibangun 14 stasi (rumah kecil) yang diberi arca jalan salib, sebagai simbol perenungan umat Katolik.

Tahun 1969 Romo Mangunwijaya turut andil dalam pembangunan Sendangsono. Setelah beliau wafat, Sendangsono diinterpretasikan dengan pemahaman Wastu Citra yang dicetuskan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya tersebut. Arsitektur Sendangsono serupa dengan gaya bangunan rumah Jawa, terdiri dari pelataran, rumah depan, tengah, dan belakang yang memiliki fungsi tersendiri. Sendangsono terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jalan masuk, pelataran, dan daerah sakral. Jalur jalan salib terbagi menjadi dua, panjang dan pendek. Jalan salib merepresentasikan perjalanan hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan.

Sendangsono yang dibangun dengan gaya arsitektur Jawa tetap melukiskan keyakinan iman Kristiani melalui Kapel Tri Tunggal Mahakudus (Trinitas), Kapel Para Rasul, Kapel Maria Bunda Segala Bangsa, dan Salib Milenium yang didirikan pada tahun 2000. Keyakinan Maria sebagai Ibu Yesus menjadi perantara bagi umat Katolik menghaturkan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan. Bunda Maria dihormati sebagai Ibu yang dapat memberkati, melindungi, serta menolong manusia yang ingin mendekatkan diri secara spiritual dengan Tuhan.

Sendangsono menjadi tempat mengabadikan peristiwa lahirnya gereja Katolik di wilayah Kalibawang. Seiring dengan perkembangan umat Katolik, Gua Maria Sendangsono pun turut merekah sebagai tempat ibadah dan ziarah.

Sumber:

Pengurus Peziarahan Gua Maria Sendangsono

Categories: Sejarah

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *