Seiring dengan masuknya ajaran agama Islam yang disiarkan oleh Pangeran Muhammad, Gaok mulai dikenal dan dipahami oleh masyarakat setempat. Gaok merupakan sebuah tradisi lisan asal Majalengka yang kini hampir punah.

Kesenian Gaok di Desa Kulur, Kecamatan Majalengka, ada sejak masuknya islam ke Majalengka. Kala itu, islam disebarluaskan dengan memanfaatkan naskah Wawacan yang bernapaskan ajaran islam dalam bentuk kesenian Gaok. Umumnya Gaok menampilkan cerita yang diambil dari kesusastraan Jawa berupa Wawacan dan dimainkan saat syukuran 40 hari kelahiran bayi. Adapun Gaok mengandung nilai-nilai islami berbalut budaya Sunda.

Gaok diambil dari kata ngagorowok artinya ‘berteriak’. Dalam kesenian ini para pemain secara bergantian melantunkan pupuh (Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula) dengan suara keras (berteriak) seperti cara mengumandangkan adzan sehingga  dikenal kata gaok. Para pemain Gaok mengenakan pakaian khas Sunda, yaitu baju kampret dan berikat kepala. Selain berunsur budaya Islam, dalam Gaok terdapat pula unsur budaya leluhur Sunda, berupa upacara persembahan sesajen kepada para leluhur yang dilaksanakan sebelum memulai Seni Gaok.

Menurut keterangan yang ada di masyarakat, istilah gaok mengacu pada istilah kesenian Beluk yang ada di daerah Majalengka. Kesenian ini lahir dan berkembang dari kebiasaan masyarakat pada zaman dulu yang bermatapencaharian dengan bercocok tanam. Pada masa itu, secara tidak sengaja masyarakat memainkan keindahan suara sebagai bentuk komunikasi dengan sesama,

Para pemain Gaok mengenakan pakaian khas Sunda, yaitu baju kampret dan berikat kepala. Selain berunsur budaya Islam, dalam Gaok terdapat pula unsur budaya leluhur Sunda, yakni mempersembahkan sesajen kepada para leluhur yang dilaksanakan sebelum memulai Seni Gaok.

Perlengkapan Kesenian Gaok adalah naskah wawacan, sesajen, dan waditra pengiring. Wawacan yang ada serta yang selamat, setelah banyak yang musnah terbakar waktu jaman penjajahan, antara lain : Wawacan Manakab, Ahmad Muhammad, Samawi, Sulanjana, Sejarah Ambiya, Babad Talaga Manggung, dan Babad Majalengka.

Pelaksanaan pertunjukan ada aturan-aturan tertentu. Contohnya, naskah Wawacan Manakib/Layang Syeh, yaitu Wawacan yang menceritakan Syeh Abdul Qodir Jaelani.  Para penonton tidak boleh berbicara, merokok, dan makan. Jadi, harus mendengarkan dengan saksama jalan cerita dalam Wawacan tersebut. Sesajen harus tersedia lengkap, mulai dari makanan kecil sampai dengan makanan pokok.  Untuk Wawacan lain bebas. Sesajen yang disajikan adalah kesukaan leluhur, di saat ia masih hidup.

Kegiatan nyuguh karuhun adalah berupa :

  • Parawanten, yaitu aneka ragam makanan/minuman kesukaan para leluhur, seperti puncak manik (telur di atas tumpeng), rurujakan (rujak kelapa, pisang, asem), bubur merah bubur putih, buah-buahan, kopi pahit manis, dawegan, kupat leupeut, tangtang angin, dan cara (kue serabi).
  • Pangradinan, sarana kecantikan pada masa lalu, seperti minyak wangi, kapur sirih, minyak kelapa, bunga-bunga, cermin, sisir.
  • Parupuyan, yaitu perapian.
  • Perlengkapan tambahan adalah alat pengiring, buyung dan songsong, yang berfungsi sebagai pengiring dalam pertunjukan pada saat mengakhiri kalimat lagu/pupuh, atau istilahnya madakeun/ngagoongkeun.

 

Selengkapnya:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/2018/01/15/gaok-tradisi-lisan-majalengka-yang-hampir-punah/

Categories: Kesenian

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *