Bawean, pulau berjarak sekitar 120 km arah utara dari Kabupaten Gresik. Dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 3-4 jam dengan kapal cepat atau 1 jam dengan pesawat terbang perintis. Secara administratif pulau ini masuk ke dalam Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Pulau ini hanya terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Secara geografis pulau ini tidak terlalu luas namun dengan keragaman budaya, jenis flora fauna, dan keindahan alam yang dimiliki menjadikan pulau ini cukup menarik untuk dikunjungi. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk mengelilingi pulau ini dengan jarak tempuh sekitar 54 km.

Salah satu khasanah budaya yang ada di pulau ini ialah masih dapat ditemuinya rumah tradisional khas Bawean khususnya di daerah Pudakit, Kecamatan Sangkapura. Keunikan rumah tradisional Bawean ditandai dengan adanya dhurung di bagian depan rumahnya. Dhurung sendiri merupakan balai kecil berukuran sekitar 2×3 meter dan merupakan bangunan terpisah dari bangunan rumah utama. Fungsinya yaitu untuk menerima tamu yang sifatnya nonformal atau sekedar duduk-duduk santai dan beristirahat setelah pulang bekerja serta mengobrol dengan tetangga sebagai sarana sosialisasi antarwarga. Selain sebagai tempat istirahat dhurung juga difungsikan sebagai lumbung padi atau hasil panen lainnya yang diletakan pada bagian atasnya. Jika dilihat sekilas, dhurung ini mirip gazebo pada rumah-rumah moderen saat ini.

Bagian rangka dan papan dudukan terbuat dari kayu sedangkan atapnya terbuat dari rumbia yang dalam bahasa bawean disebut dheun. Kayu yang digunakan biasanya kayu jati atau kayu lokal yang ada disekitar Bawean. Bagian yang cukup menarik dari dhurung ini adalah pada ukiran di beberapa bagian seperti tiang serta adanya jhelepang yaitu semacam jebakan atau penghambat tikus sehingga dapat melindungi lumbung padi.

Meskipun rumah tradisional Bawean sudah tidak banyak lagi, namun keberadaan dhurung masih bisa ditemui pada rumah-rumah di pulau sekitar Bawean dengan sedikit pergeseran baik dari segi fungsi maupun material yang digunakan. Saat ini sebagian besar dhurung sudah tidak dilengkapi lumbung padi di bagian atasnya dan material atapnya sudah banyak yang menggunakan seng, genteng atau asbes bukan lagi dengan rumbia.

Teks dan Foto: Subiyantoro

Sumber: BPNB DI Yogyakarta

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *