Buku Silat Beksi Petukangan

Februari 22, 2019

Guru-guru Awal Silat Beksi

Silat Beksi yang ada di Petukangan sekarang, diyakini secara turun-temurun berasal dari 5 sosok utama, yaitu: H. Godjali, H. Hasbullah, Simin, Muhammad Nur dan Mandor Minggu. Fokus tulisan pada bagian ini, hanya membahas kelima tokoh tersebut, karena dari kelima tokoh tersebut penyebaran silat Beksi sampai ke Petukangan dan daerah-daerah di sekitarnya.

H. Godjali

H. Godjali, menurut penuturan lisan, dilahirkan sekitar tahun 1859-1860. H. Godjali sendiri adalah paman dari H. Hasbullah. Ayah H. Godjali, H. Gatong, adalah seorang Bumiputra tuan tanah dan saudagar kaya terkenal di seantero Petukangan. Ibu dari H. Godjali, adalah wanita peranakan Tionghoa bernama Nyi An Ie Ong, tetapi penduduk sekitar menyebutnya Nyi Anyong, karena sulitnya mengucapkan dalam ejaan Mandarin. H. Godjali memiliki 7 saudara lainnya, tetapi dia merupakan anak satu-satunya dari H. Gatong yang berkeinginan kuat belajar silat, sehingga dia diberikan segala apa yang dimiliki oleh ayahnya, tetapi secara disiplin dan teratur.

H. Godjali sebelum dikenal sebagai ahli silat, adalah pemusik handal, yaitu sebagai salah satu dari empat personel grup rebana dari kampung Petukangan. Keahlian dan ketenaran grupnya, menjadikannya sering dipanggil ke berbagai daerah di luar Petukangan. Melalui keahliannya ini, dia sampai ke daerah Dadap, Tangerang, dimana dia mendapatkan keahliannya sebagai jawara tangguh silat Beksi.

Suatu ketika perjalanan pulang setelah acara grup rebananya di daerah Dadap, di melewati sebuah halaman rumah seseorang pada larut malam, dimana di situ ada orang yang sedang belajar-mengajar ilmu pencak silat. H. Godjali merasa sangat tertarik dan mengamati mereka yang sedang belajar. Ketika mengamati aktifitas itu, teman-temannya dimintanya pulang lebih dahulu.

Sketsa wajah H. Godjali

(Sketsa diberikan atas kebaikan hati Iwan Ridwan/Ireng Halimun)

Menurut salah satu keterangan, H. Godjali yang penasaran, ingin menjajal kemampuan sang guru, yaitu Ki Marhalli sendiri. H. Godjali yang sudah memiliki jurus silat torogtog dalam satu sumber dan cingkrik dalam sumber lainnya, mengadakan adu tanding. Tidak dinyana ternyata H. Godjali kalah dalam adu tanding tersebut. H. Godjali memohon kepada Ki Marhalli, agar diizinkan menjadi murid Ki Marhalli.

Sebelum diizinkan menjadi muridnya, Ki Marhalli meminta kepada H. Godjali, untuk terlebih dahulu meminta izin orangtuanya, apakah diizinkan atau tidak dan memberikan sesuatu untuk gurunya berupa biaya mukim. Ketika sampai di rumah, dia memohon kepada ayahnya agar diizinkan belajar silat kepada Ki Marhalli di Dadap, Tangerang. Apabila ayahnya tidak memberinya biaya, menurut penuturan, dia akan menjual kuda pemberian ayahnya, sebagai biaya hidup selama mukim di tempat gurunya. Sebagai ayah, H. Gatong tidak menyetujui, apabila anaknya sampai menjual kudanya hanya untuk biaya belajar silat. H. Gatong kemudian menyetujui anaknya belajar silat ke Dadap, sekaligus memberi biaya selama di sana.

Salah satu sumber mengatakan bahwa H. Godjali tidak sampai setahun dalam belajar silat, sedangkan menurut guru besar silat Beksi, engkong Dasik, mengatakan bahwa H. Godjali belajar silat kepada Ki Marhalli selama 3 tahun. Periode waktunya sekitar dekade tahun 1910-an. Waktu itu telah terjadi kerusuhan massal anti-Tionghoa di Tangerang.

Setelah pulang dari belajarnya di Dadap, Tangerang, H. Godjali mencoba permainan maenpukulan bersama teman-teman sebayanya. Saat itu ada seorang warga yang sedang membangun rumah, dimana setiap orang berkumpul ramai dalam satu waktu. Ketika terjadi adu tanding dengan teman-temannya, H. Godjali dapat menjatuhkan teman-temannya dalam sekali serangan. Berawal dari peristiwa tersebut, teman-teman sebayanya serta para jago kampung Petukangan, mulai belajar kepadanya, terutama tokoh-tokoh yang di kemudian hari dikenal menjadi empat murid utamanya.

H. Godjali sendiri selama masa kolonial, adalah seorang saudagar kaya di seantero Petukangan yang mewarisi usaha ayahnya. Dia mempunyai usaha pembuatan tahu, mempunyai usaha transportasi delman, sawah yang luas dan sekarang keluarganya, mewarisi sarana pendidikan sekolah. Selain itu, H. Godjali juga pernah diangkat menjadi binnenlandsch bestuur sebagai kepala kampung dari wilayah kampung Petukangan oleh pemerintah kolonial Belanda. Seringkali dia dikejar-kejar oleh marchause Belanda karena dicurigai membantu rakyat di sekitar Petukangan, terutama setelah adanya upaya pemberontakan PKI melawan Belanda di Banten pada tahun 1926-1927.

H. Godjali pergi haji sekitar di tahun 1940-an, saat masa-masa genting, sehingga dia menjadi dari sedikit warga Indonesia yang pergi haji saat suasana perang akan berlangsung di Indonesia. Pengajaran silat kemudian dilanjutkan oleh Ki Marhalli kepada murid-muridnya di Dadap dan di Petukangan. Di zaman Orde Lama, dia juga pernah diangkat menjadi lurah kembali hingga tahun 1960.

Categories: FeaturedTokoh

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *