Daerah Sumba yang rata – rata memiliki curah hujan yang relatif sedikit, menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk bercocok tanam. Hal inilah yang menjadi latar belakang leluhur masyarakat di Kampung Kamarru, Desa Tanamanan – Kecamatan Pahunga Lodu Kabupaten Sumba Timur menetapkan sebuah upacara khusus untuk memohon curah hujan pada “Mawulu Tau – Ma’Ji Tau” (Sang Pencipta). Upacara tersebut dikenal dengan nama Purru La Mananga.

Menurut tokoh adat adat setempat, dari cerita yang disampaikan secara turun temurun kegiatan ini telah dilaksanan sejak pertama kali leluhur mereka mendiami tempat tersebut. Adapun marga atau kabihu yang terlibat dalam kegiatan ini adalah: Kabihu Lukunara, Kabihu Pahada, Kabihu Lurra, Kabihu Kabuling, Kabihu Kabunu, Kabihu Maritu dan Kabihu Hau.

 

Adapun tahapan pelaksanaan ritual ini sebagai berikut:
–‘Dundang: Setelah waktu pelaksanaan ritual ditetapkan, diutuslah wunnang (juru bicara) untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang kegiatan dimaksud.

–Hama yang di Kampung: Ama Bokul Hamayang (imam/pemimpin ritual) memimpin upacara yang dilaksanakan di Katoda yang terdapat di depan Uma Hori, dengan media 1 ekor anak ayam yang baru menetas sebagai simbol kesucian sekaligus mewakili niat tulus dari masyarakat untuk mengakui kesalahan secara umum. Dilanjutkan dengan prosesi tolak bala yang dilaksanakan diluar kampung. Hal ini bertujuan agar prosesi selanjutnya dapat berjalan lancar dan tidak terdapat hal – hal yang menghalangi hubungan dengan Sang Pencipta. Tahap berikutnya adalah Hamayang di rumah adat untuk menyampaikan kepada leluhur bahwa prosesi awal telah dilaksanakan dan diiringi dengan memukul gong dan tambur sebagai ekspresi sukacita.

– Hamayang di Muara: Keesokkan harinya prosesi dilanjutkan di muara. Diawali dengan hamayang di katoda bunggur yang bertujuan menyampaikan kepada leluhur bahwa ritual siap untuk dilaksanakan. Selanjutnya Ama Bokul Hamayang menuju muara untuk memanjatkan mantera adat yang berisi permohonan kepada leluhur untuk disampaikan kepada Sang Pencipta terutama agar hujan segera turun. Kemudian kembali ke katoda bunggur untuk menyelesaikan prosesi hamayang. Pada saat itu, perwakilan kabihu melakukan ritual mengaku salah sambil mengungkapkan segala kesalahan yang pernah dilakukan. Pada saat menyampaikan hal tersebut, mereka mempersembahkan emas yang diiris dan dimasukkan dalam wadah yang disebut Kenoto. Setelah proses ini, dilanjutkan dengan persembahan hewan kurban sambil mendoakan agar Sang Pencipta berkenan memberkati alam semesta dan segala isinya.

 

(Admin: Handini Dwifarhani)

Sumber: BPNB Bali

Categories: Nilai Budaya

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *