Solo – Layar putih yang terbabar menjadi ‘panggung’ sesungguhnya bagi dalang Edward Austin Breitner. Sesekali ia memainkan intonasi suara, sambil memegang dua buah wayang di tangan kanan dan kirinya. Ini menjadi tanda bahwa cerita wayang siap dimulai. Budhalan Prajurit Astina pun menjadi uraian cerita wayang Purwa yang ia mainkan. Cerita tentang perjalanan prajurit wayang di medan perang ini diiringi pula oleh para pemain gamelan dari berbagai negara. Suara gamelan yang syahdu dan lembut membuat para penonton khuyuk menonton pertunjukan tersebut.

“Oke, bisa kita memakai bahasa Inggris saja? ujar Edward memulai dialog ke tokoh wayangnya. Tak lama kemudian disambut gelak tawa seisi ruangan oleh penonton.

Bagi Edward, bukan hal yang mudah memainkan wayang dan berdialog lancar bahasa Jawa. Ia kerap kesulitan membacakan dialog dengan lancar. Aksen Inggris-nya cukup kental meski ia sudah berlatih keras belajar dan mengucapkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa ketika mendalang.

“Bahasa Jawa memang sulit buat saya,” aku pria asal Amerika ini dengan lugas, yang ditemui usai berdalang di hadapan para mahasiswa.

Meski bahasa Jawa terkesan rumit, masih ada satu hal lagi yang membuatnya butuh kerja keras menjadi seorang dalang. Bermain wayang, katanya, harus menjadi satu harmoni dengan semua anggota. Ketukan nada dan ucapan seorang dalang sebisa mungkin haruslah pas.

“Tapi apa pun itu yang paling sulit menjadi dalang ialah terkoneksi dengan semua orang. Sebab semua orang saling bekerja sama,” tambahnya.

Kecintaan Edward terhadap budaya Indonesia, khususnya menjadi dalang dimulai sejak 2 tahun lalu. Kala itu, ia bersama sang istri bergabung dalam sebuah kelompok musik tradisional bernama Keroncong Band. Wayang yang saat itu sering dimunculkan di pagelaran musiknya, memiliki daya tarik tersendiri hingga ia pun memutuskan untuk serius dan konsisten belajar wayang. Termasuk belajar bahasa Jawa perlahan dan berguru dari dalang-dalang dengan jam terbang tinggi.

“Dari situ akhirnya saya belajar sedikit demi sedikit dan mulai tertarik dengan dunia wayang,” jelasnya.

Penyesuaian Bahasa

Ibarat dua sisi, pertunjukan wayang kerap dianggap sebagai falsafah manusia yang mengandung ajaran-ajaran budi pekerti dan nilai moral tinggi. Namun tak sedikit yang beranggapan wayang hanyalah sebuah pertunjukan semata, hanya mengambil fragmen atau potongan cerita tentang kehidupan di masa kerajaan.

Menurut dalang kenamaan Ki Anom Suroto, keluwesan wayang sebagai seni pertunjukan kebudayaan Jawa mampu menyelipkan pemahaman terhadap perjalanan hidup sehari-hari. Baik itu dalam masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itulah, fenomena apa pun dapat dikemas dalam bahasa wayang.

“Bahkan teknologi sekalipun. Dengan keluwesan wayang semua serba bisa,” ungkapnya.

Hanya saja, terkadang bahasa masih dianggap sebagai salah satu kendala yang tak bisa dimungkiri oleh para dalang. Pengemasan bahasa yang kurang tepat membuat generasi muda menganggap wayang hanyalah seni pertunjukan yang secara pesan kurang sesuai dengan usia mereka.

“Sekarang kami para dalang berusaha untuk mempermudah bahasa, tetapi tidak meninggalkan keagungan bahasa itu sendiri. Tujuannya apa, biar anak-anak muda itu bisa nyambung (dengan cerita yang dimainkan). Keluh kesah anak-anak muda sekarang itu karena bahasa wayang dianggap terlalu tinggi, dan para dalang sekarang berusaha untuk itu (menyesuaikan),” jelas dalang asal Klaten tersebut, yang ditemui pada acara Hari Wayang Dunia, di ISI Surakarta, Solo, Jawa Tengah.

Karena itulah Hari Wayang Dunia yang jatuh setiap tanggal 7 November menjadi alarm tersendiri bagi para dalang untuk lebih memajukan dunia perwayangan sebagai khazanah budaya. Termasuk mengemas cerita perwayangan agar tetap menarik dan bermutu serta fleksibel dengan perkembangan zaman. Pekerjaan rumah ini, kata Ki Anom, dapat dimulai dengan mengenalkan kembali wayang sedini mungkin ke generasi muda, sehingga menjadikan wayang bukan sekadar tontonan melainkan mampu memetik filsafat hidup yang diuraikan melalui cerita.

“Ya sedini mungkin harus diperkenalkan, kalau perlu dari sekolah dasar diadakan gambar-gambar wayang seperti program terdahulu. Muatan lokal sebaiknya diperbanyak di bahasa setempat,” tukas Ki Anom, yang juga berharap adanya pengukuhan Hari Wayang secara nasional.

 

Categories: Featured

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *