248

Indonesia merupakan negeri maritim yang sangat kaya. Seniman Koes Plus dalam lagunya bahkan menyatakan kail dan jala cukup menghidupimu. Menilik syair itu, mari kita jabarkan. Dari data terakhir tahun 2014 saja, Indonesia memiliki wilayah laut sepanjang 3,2 juta kilometer persegi, dengan panjang pantai 95.000 kilometer yang membuat Indonesia menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Indonesia juga memiliki 17.000 lebih pulau yang tersebar di seluruh daerah, 160 juta orang (atau lebih dari 60% penduduk Indonesia) hidup dan bermukim di pesisir. Maka, dengan keadaan geografi dan demografi seperti itu, potensi Indonesia sebagai negeri maritim memang luar biasa.

Menurut Mantan Menteri Perikanan dan Kelauatan, Sharif C Sutarjdo, jika potensi maritim ini diolah, hasilnya bisa mencapai Rp 3.000 triliun per tahun. Kegiatan ekonomi (bahari) ini juga bisa menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut.

Tapi mengapa perekonomian Indonesia masih bertumpu pada semua kegiatan yang basisnya di daratan, seperti pertambangan, perhutanan, pertanian, dan sejenisnya? Padahal total kontribusi PDB dari sektor kelautan Indonesia saat ini hanya sekitar 20%, di bawah Thailand dan Korea Selatan. Dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tak sampai 10% dari panjang pantai Indonesia.

Joko Widodo pernah menyinggung hal ini saat pelantikan pertamanya sebagai Presiden RI, bahwa Indonesia telah lama memunggungi laut; samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan Indonesia. Sementara dalam pidato kebudayaan tahun 2014, Hilmar Farid, Sejarawan yang kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan berpendapat, penyebab Indonesia melupakan laut adalah karena terpisahnya laut dan dunia maritim dari kebudayaan.

Dalam sejarahnya, laut erat kaitannya dengan geopolitik atau perebutan negara-negara adikuasa. Ke depan, hampir semua orang sepakat; kehidupan berada di laut. Indonesia yang merupakan negara kepulauan telah lama dikenal memiliki kemampuan berlayar ke Pantai Timur Afrika dan Kepulauan Pasifik, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Akan tetapi, rekonstruksi sejarah kelautan nusantara masih sedikit dibandingkan dengan penggambaran sejarah di daratan.

Keterabaian ini menjadi salah satu alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, mengangkat tema bahari pada Konferensi Nasional Sejarah (KNS) ke-10. Melalui gelaran ini, sejarah bahari diharapkan menjadi tulisan sejarah nasional mutakhir dan dapat dipahami masyarakat melalui pendidikan. Beberapa tema bahari yang akan diangkat antara lain Jaringan Pelayaran Nusantara, Sistem Pengetahuan dan Tradisi Bahari, Laut dan Dinamika Kekuasaan, serta Laut dalam Historiografi Tradisional Sastra dan Seni.

Tema Jaringan Pelayaran Nusantara membahas kota-kota pelabuhan yang ada di Nusantara. Sementara, pada Sistem Pengetahuan dan Tradisi Bahari akan dibahas dinamika sistem budaya, kepercayaan, kelembagan, teknologi, kearifan lokal, dan hubungan sosial. Konflik, dominasi, dan kesepakatan yang mewarnai kehidupan kelautan akan dibahas pada tema Laut dalam Dinamika Kekuasaan. Sedangkan, tema Laut Dalam Historiografi Tradisional, Sastra dan Seni menekankan bagaimana kelautan mempengaruhi karya sastra dan pemikiran.

Taufik Hanafi, Pelaksana Tugas Direktur Sejarah mengatakan, pemilihan tema ini telah melalui proses pemikiran yang cukup panjang. Sejarah membuktikan bahwa negara yang menguasai laut adalah bangsa yang maju dan sejahtera. paparnya.

KNS ke-10 ini menjadi langkah awal untuk balik badan, melihat kembali laut yang selama ini dipunggungi, sekaligus membuktikan lagu Koes Plus, bahwa kail dan jala cukup menghidupi negeri ini.

Categories: Uncategorized