Assalammualaikum, jamee baro trok

Tameung, tameung jak pioh u ateuh tika

Karena, karena saleum Nabi kheun Sunnah

Jaro, Jaro ta mumat syarat mulia..

Penari-penari wanita mendendangkan lagu sembari menari; menepuk-nepukan dada, menjentik-jentikan jari, menggeleng-gelengkan kepala dan melakukan berbagai gerakan dalam posisi duduk berlutut sambil sesekali bangun dari duduk dan berdiri di atas lutut mereka, lalu kemudian sesekali pula membungkukkan badan hingga kepala-kepala mereka nyaris menyentuh lantai.

Kemudian penari-penari tersebut  bergerak dalam posisi duduk sambil menirukan gelombang air laut dan berdendang:

Hai laot sa

Ie lam ombak meu alon kapai jih

Ek tron meulumba-lumba

Hai bacut tek… dst

Begitulah cara para penari wanita menarikan tarian Ratoh Duek  (duduk berbincang-bincang atau seperti yang disebut Keith Howard sebagai women chattering). Jika ditilik dari unsur katanya, ratoh yang berasal dari Bahasa Arab berarti rateb yaitu melakukan pujian-pujian kepada Allah SWT melalui doa-doa yang dinyanyikan atau diiramakan. Sedangkan duek yang berasal dari Bahasa Aceh berati duduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ratoh Duek berarti mendendangkan pujian-pujian (zikir) kepada Allah SWT sambil duduk. Dahulu tarian ini ditampilkan dalam acara pernikahan, kenduri naik haji, dan perayaan hari besar keagamaan di antaranya malam terakhir Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi.

Dan ya, itulah bentuk gerakan dan syair yang biasanya kita temukan pada tarian ini. Seolah-olah sudah menjadi pakem bahwa ketiga gerakan dan syair itu harus ditampilkan dalam setiap penampilannya dewasa ini.

Do you know ? Apakah Anda tahu ?

Pertanyaan di atas (mengikuti jargon pada sebuah acara di televisi nasional) saat ini mulai pantas dipertanyakan. Fenomena yang terjadi adalah bahwa saat ini, Tari Ratoh Duek yang sering ditarikan oleh pelajar wanita di Jakarta selalu disebut “Tari Saman”. Meskipun kini Tari Saman telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Intangible Elements of World Cultural Heritage pada tanggal 24 November 2011 dengan pakem yang telah disahkan, kesalahan penyebutan Tari Ratoh Duek  sebagai Tari Saman tetap saja terjadi khususnya di kalangan pelajar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan kota besar lainnya.

Ratoh Duek atau Saman ?

Tari Saman yang biasa disebut kalangan pelajar di kota besar (khusunya Jakarta) sebagai “Tari Saman” itu sebetulnya adalah Tari Ratoh Duek. Kedua tarian ini, Tari Saman dan Tari Ratoh Duek, sebetulnya merupakan dua jenis tari yang sangat berbeda. Jadi sebetulnya, banyak oang yang sudah sangat salah kaprah.

Perbedaan pertama yang sangat mencolok adalah bahwa Tari Saman tidak ditarikan wanita, melainkan hanya pria dengan jumlah ganjil. Sedangkan Tari Ratoh Duek seluruhnya ditarikan wanita dengan jumlah genap. Tari Ratoh Duek dikendalikan oleh dua orang syahi (penyanyi syair di luar formasi duduk penari), sedangkan Tari Saman dikendalikan oleh seorang penangkat yang duduk di dalam formasi paling tengah. Syair Tari Saman selalu menggunakan Bahasa Gayo, sedangkan syair Tari Ratoh Duek menggunakan Bahasa Aceh.

Lebih spesifik lagi, Tari Saman dibagi dalam beberapa gerakan atau bagian utama dalam posisi duduk; rengum, dering, salam, uluni lagu, lagu, anakni lagu dan penutup. Rengum merupakan bagian pembuka dari tari berupa auman yang belum berbentuk kata, dering adalah lanjutan auman yang sudah mempunyai kata-kata, salam adalah pemberian salam kepada yang hadir atau orang lain yang dihormati, uluni lagu gerakan lambat sebelum guncang keras, lagu adalah gerakan yang memiliki banyak variasi, dan anakni lagu berupa gerakan ringan yang kadang-kadang terjadi selang-seling. Syair pun dibawakan dalam tiga bagian; sek, redet dan saur. Sek merupakan alunan suara keras yang merdu dengan nada khas, redet adalah syair yang dinyanyikan oleh seorang penari (penangkat) dan saur yang merupakan nyanyian bersama oleh semua penari.

Ratoh Duek ditarikan dalam bentuk yang lebih sederhana. Maksudnya, gerakan dalam posisi duduk hanya terdiri dari gerakan tangan menepuk dada dan paha, gelengan kepala ke kanan dan ke kiri, gerakan duduk dan berlutut serta mempersilangkan jari dengan penari di sebelahnya yang dilakukan dengan urutan yang lebih fleksibel, dapat berubah dan dikreasikan sewaktu-waktu. Namun demikian, tari selalu dibuka dengan salam. Syair pun hanya dinyanyikan sebagaimana biasa tanpa ada bentuk gumaman.  Syair yang dibawakan hanya berupa nyanyian yang dibawakan oleh syahi dan kemudian disahut dan diikuti oleh seluruh penari lainnya.

Hal lain yang membedakan Tari Saman dengan Tari Ratoh Duek adalah  kehadiran musik pengiring. Tari Saman tidak pernah diiringi oleh musik tradisional apa pun, sedangkan Tari Ratoh Duek acap kali ditemani oleh iringan rapai.

Lebih dari itu, terdapat perbedaan yang mencolok pada kostum. Kostum penari Saman adalah pakaian tradisional Suku Gayo yang disebut baju kantong dengan motif  kerawang (pakaian dasar hitam dengan motif warna kuning, merah dan hijau) dan di kepala dipakai bulang teleng yang disertai daun kepies (saat ini sudah sullit ditemukan sehingga sering diganti dengan daun pandan). Tari Saman selalu membuka bulang teleng setelah gerakan mulai kencang dan memakainya kembali setelah selesai.

Sementara penari Ratoh Duek menggunakan pakaian polos berwarna (bisa merah, kuning, hijau, dan warna lainnya) yang dipadu kain songket Aceh dan ikat kepala yang juga berwarna yang dapat dimodifikasikan atau dikreasikan (lihat gambar cover). Tari Ratoh Duek tidak pernah melepas ikat kepala sejak awal sampai akhir.

Jadi, jelaslah bahwa tari yang saat ini sering dimainkan oleh kalangan pelajar wanita di kota besar sebenarnya adalah Tari Ratoh Duek. Ketika sang pembawa acara mengatakan “Sambutlah dengan meriah.. Tari Saman!” lalu yang keluar adalah penari wanita, maka koreksi harus terjadi; bahwa tari tersebut mungkin Tari Ratoh Duek, namun jelas bukan Tari Saman.

Now you know. Sekarang Anda tahu

Setelah kita mengetahui perbedaan kedua tarian ini, diharapkan tidak ada lagi kesalahpahaman mengenai profil keduanya, karena kedua tarian ini jelas berbeda dan mempunyai keunikan yang berbeda pula. Diharapkan, para pelaku seni ini juga mempelajari dan memahami filosofi dan latar belakang tarian yang akan mereka tarikan, tidak hanya sekadar mempelajari gerak tarinya saja. Pada akhirnya, Tari Ratoh Duek akan tetap menjadi Tari Ratoh Duek, dan Tari Saman akan tetap menjadi Tari Saman.

 

 

Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2013/12/23/98/

Penulis (NURMILA KHAIRA, S.S)


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *